Energi terbarukan digadang-gadang sebagai energi alternatif untuk menggantikan energi fosil. Pertambangan energi fosil memiliki dampak lingkungan yang sangat siginifikan sehingga banyak kampanye yang menyuarakan untuk menggantikan energi yang tidak ramah lingkungan tersebut ke energi terbarukan.
Salah satu energi yang mulai berkembang di Indonesia sebagai upaya meminimalisir dampak kerusakan lingkungan, yakni energi panel surya. Negara Cina, Amerika, dan Eropa sudah lebih dulu memanfaatkan energi solar panel. Sementara Indonesia, pemakaian energi alternatif ini masih minim karena stereotip yang menganggap energi terbarukan sebagai barang mahal.
Padahal menurut praktisi dan pengusaha panel surya, Antariksa Puspanegara, solar panel bisa menjadi murah atau mahal tergantung pada pemakaiannya. Untuk itu, harus terlebih dahulu diketahui seberapa besar kebutuhan yang dipakai dalam sehari. Ia mengatakan kalau sesuai dengan spesifikasi bisa dikatakan murah, tetapi jika ingin lebih dari kebutuhan dapat disebut mahal.
Mantan kameramen senior ini mulai menjajaki dunia bisnis panel surya sejak 2010. Saat ditugaskan meliput ke Cina, ia melihat hampir seluruh masyarakat menggunakan solar panel. Rasa ingin tahu mendorongnya mencari informasi tentang solar panel dan bertanya kepada warga di sana. Namun, jawaban yang ia dapatkan justru membuatnya kaget. “Di Indonesia itu matahari bersinar sepanjang tahun. Di Cina, matahari walaupun tidak sebagus di Indonesia tetap menggunakan solar panel,” kata Antariksa menirukan ucapan orang tersebut.
Dengan berbakal pengetahuan tersebut Antariksa mulai menekuni bidang panel surya. Baginya tidak semudah yang dibayangkan menekuni bisnis tersebut. Selama setahun, ia terlebih dahulu bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang serupa. Setelah mendapatkan ilmu, Antariksa yakin untuk membuka bisnis panel surya yang diberi nama PT Green Energi Nusantara Mandiri.
Selama merintis usahanya, ia mulai masuk di beberapa tender untuk memperkenalkan produk energi terbarukan. Namun, hasilnya tidak semudah yang dibayangkan dan jauh dari harapan. Antariksa lalu beralih untuk dapat berkontribusi langsung ke masyarakat. Ia memperkenalkan dan memberikan penerangan di beberapa daerah di Indonesia yang belum terjamah listrik.
Dalam perjalanannya, ia memutuskan masuk ke komunitas dan Lembaga Swadaya Masyarakat untuk mendukung usaha panel surya sekaligus mengedukasi masyarakat. “Karena sering keliling Indonesia tekad saya makin kuat bagaimana Indonesia ini bisa terang,” kata dia.
Di komunitas, Antariksa berperan aktif dalam memberikan informasi ke masyarakat. Misalnya cara memasang pembangkit listrik tenaga surya maupun definisi mengenai energi terbarukan. Ia memberikan pemahaman bahwa posisi Indonesia yang dilintasi matahari sepanjang tahun memiliki manfaat yang besar.
Melalui teknologi sambungan telepon atau panggilan video, ia dapat langsung menghubungi dan mengajarkan masyarakat di daerah. “Kalau misalnya komunitas minta diajarkan tinggal bilang saja ke kita,” ujar Antariksa.
Di Yayasan Sinergia yang ia ciptakan bersama beberapa rekannya, Antariksa semakin gencar untuk berbagi ilmu mengenai solar cell di daerah. Ia bahkan secara gratis memasang panel surya di tempat yang masih minim penerangan. Di komunitas, Sinergia juga berfokus mengelola energi terbarukan. “Kita sampaikan bagaimana caranya berhemat karena energi itu cepat atau lambat akan habis sperti fosil. Kalau matahari tidak akan habis selagi kita masih ada di bumi ini,” ujarnya.
Antariksa menceritakan pengalamannya masuk ke daerah terpencil. Ia menemukan masih terdapat ribuan pulau yang masih gelap. Listrik pun hanya terbatas menyala hingga jam 12 malam hari. Ia kemudian berinisiatif untuk membantu kebutuhan dasar warga akan listrik melalui Sinergia.
Kini sekitar 26 lembaga swadaya masyarakat telah bekerja sama dengannya. Meski baru genap satu tahun, Sinergia mampu menarik 350 komunitas di daerah terpencil untuk berpartisipasi. “Mereka kadang-kadang kampanye soal lingkungan, tapi tidak punya contoh alatnya. Itu kita yang support,” kata Antariksa.
Instalasi panel surya masih menimbulkan banyak pertanyaan di masyarakat. Sebab beberapa anggapan menyebut solar panel sebagai barang mahal. “Kalau ditanya mahal ya mahal, kalau ditanya murah ya bisa murah juga tergantung spesifikasi,” ucapnya.
Antariksa menyampaikan asumsi awal yang menyebut panel surya mahal bukanlah tanpa sebab. Menurutnya hal itu jamak terjadi karena bahannya diimpor dari luar negeri. Namun, kata dia, saat ini sudah banyak industri di Indonesia yang memproduksi. “Sudah banyak tenaga ahlinya juga. Jadi, tidak terlalu sulit, tinggal mau tidak kita selain jualan memberikan pengetahuan kepada masyarakat,” ujar Antariksa.
Menurutnya, makin besar daya dan durasi nyala, maka investasinya juga makin mahal. “Saya selalu menekankan untuk saudara-saudara kita yang di daerah. Satu rumah bisa kita buatkan, sudah kita hitung televisi sekian watt, kulkas sekian watt bisa jadi 1.000 watt besar sekali. Lalu investasinya jadi mahal. Kebutuhan dasar yang kita sangat perlukan saat ini hanya sebatas penerangan saja, ” ucapnya.
Antariksa mengatakan, pemerintah harus didorong untuk memanfaatkan tenaga panel surya atau energi terbarukan. Gedung-gedung, misalnya, harus peduli lingkungan. Bukan hanya membuat biopori, tapi juga melakukan penghematan energi melalui pemakaian panel surya. “Walaupun sudah terlambat 5 sampai 10 tahun dibandingkan negara-negara yang udah maju,” kata dia.
Kelemahan panel surya ini, kata dia, terletak pada baterainya sebab hanya dapat bertahan selama dua tahun. Sedangkan panelnya bisa bertahan hingga 24 tahun. “Jadi energi bersih dan tidak bersih. Kalau untuk sistem perkotaan, kita pakai sistem on grid. Jadi, tidak menggunakan baterai,” ucap Antariksa.
Penulis: Ridho Pambudi