Food Sustainesia Ajak Generasi Muda Mengenal Sistem Keberlanjutan Pangan

Reading time: 2 menit
Food Sustainesia
Anggota Tim Food Sustainesia. Foto: Food Sustainesia

Indonesia merupakan negara dengan populasi terpadat keempat di dunia. Jumlahnya diprediksi bertambah menjadi 30,57 juta jiwa pada 2035. Peningkatan ini tentu akan berdampak terhadap konsumsi pangan masyarakat.

Atas dasar itulah, Jaqualine bersama empat temannya memutuskan untuk membentuk sebuah komunitas bernama Food Sustainesia yang bergerak dalam bidang sistem pangan berkelanjutan. Komunitas yang berusia dua tahun juga ingin mengoptimalkan penggunaan sumber daya alam dan manusia serta menjunjung biodiversitas maupun ekosistem.

Baca juga: Gowes Baraya Bandung: Pesepeda Butuh Jalur yang Aman dan Nyaman

Klaudia Roseline, Chief Business Development Officer Food Sustainesia mengatakan, komunitas ini dibentuk pada 2018 sebagai upaya melakukan edukasi kepada masyarakat dalam menerapkan sistem pangan berkelanjutan. Konsep edukasi yang dilakukan terdiri dari tujuh prinsip pangan berkelanjutan, yakni mengurangi limbah makanan, mengonsumsi lebih banyak buah dan sayur, memilih ikan dan hasil laut dari sumber yang berkelanjutan, membeli pangan lokal yang alami dan organik, memastikan perdagangan yang adil, hingga mengurangi konsumsi gula, garam, dan lemak.

Ia menuturkan komunitas ini berawal dari lima anggota yang memiliki keresahan akan ketimpangan pangan di Indonesia. Di kota-kota besar, misalnya, banyak restoran maupun supermarket yang seringkali membuang bahan makanan hanya karena tidak sesuai standar. Sementara di tempat lain, banyak masyarakat yang masih membutuhkannya.

Food Sustainesia

(Kiri ke kanan) Tim Food Sustainesia, Milka, Chief Research and Innovation Officer-Article Content, Klaudia Roseline, Chief Bussiness Development Officer, Jaqualine, Chief Executive Officer, Grace Claudia, Chief Research and Innovation Officer-Video Content, dan Syahnazia Adinda, Chief Communication Officer. Foto: Food Sustainesia

Menurut Klaudia, ketimpangan itu juga kerap menjadi penyebab masalah gizi di Indonesia, seperti kelebihan gizi yang berujung pada obesitas atau justru kekurangan gizi. “Di sini buang-buang makanan, tetapi di bagian lain masih banyak yang belum bisa makan. Itu satu yang membuat kita terenyuh, dari situ kita terpacu bahwa kita anak muda dan yang concern terhadap pangan harusnya bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik,” ujarnya saat diwawancarai Greeners, Sabtu, 12 September 2020.

Food Sustainesia menitiberatkan pada kegiatan kampanye, edukasi, pemberdayaan generasi muda mengenai sistem keberlanjutan pangan khususnya kebiasaan konsumsi yang berkelanjutan (Sustainability Eating Habit).

Ia mengatakan untuk pertama kalinya komunitas ini melakukan kampanye melalui media sosial dengan tema “Piring Kosong”. Menurutnya hal tersebut menjadi tantangan sekaligus peluang kampanye untuk mengajak seluruh generasi muda menghabiskan makanannya, “Sesimpel dengan ayo abisin makanan kamu,” kata dia.

Baca juga: Koalisi Pejalan Kaki: Kota Beradab Adalah Kota yang Manusiawi

Komunitas beranggotakan 80 orang dan tersebar di seluruh Indonesia ini juga berkolaborasi dengan berbagai instansi maupun komunitas yang berfokus dalam isu. Pada 2019, Food Sustainesia bekerja sama membuat sebuah mini event mengenai Agri Food di Indonesia. Konsep tersebut merupakan usaha untuk menghasilkan pangan melalui kegiatan bertani.

Menurut Klaudia, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah, tetapi penerimaan pasar akan hasil panen dari petani Indonesia tidak sesuai dengan standar pasar sehingga tidak bisa dijual. Ia berharap masyarakat mulai memilih makanan tidak hanya untuk sekadar memenuhi kebutuhan tubuh, tapi juga yang memang baik dan  sehat bagi tubuh.

Ngga usah langsung tiba-tiba berubah yang penting step by step, tapi sesimpel dengan habiskan makanan kamu dan pilih makanan yang menurut kamu sehat. Yang ga pernah makan buah dan sayur mulai makan buah dan sayur,” ucapnya.

Penulis: Ridho Pambudi

Top