Abdon Nababan, Lebih dari Dua Dekade Memperjuangkan Hak Masyarakat Adat

Reading time: 6 menit
abdon nababan
Abdon Nababan. Foto: greeners.co/Arief Tirtana

(Greeners) – Maret 2017, Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) secara resmi memiliki Sekretaris Jendral (Sekjen) yang baru, Rukka Simbolinggi, menggantikan Abdon Nababan yang telah dua periode memimpin gerakan masyarakat adat terbesar di dunia itu. Meski begitu, bayang-bayang nama Abdon Nababan memang sulit dilepaskan dari AMAN. Ia sudah memimpin dan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat selama 12 tahun dari 16 tahun berdirinya AMAN.

Abdon, pria kelahiran Tano Batak, 2 april 1964, ini lahir dan tumbuh besar dalam lingkungan masyarakat adat Batak, Sumatera Utara. Jalan panjangnya memperjuangkan hak masyarakat adat dimulai dengan keterlibatannya dalam gerakan aktivisme lingkungan pada masa kuliah. Idealisme yang kuat sebagai aktivis mahasiswa yang tumbuh dalam rezim Orde Baru membuat Abdon muda kala itu memilih untuk melanjutkan menjadi aktivis lingkungan selepas kuliah.

“Pada masa itu, masa jaya Soeharto. Sebagai aktivis mahasiswa, mencari pekerjaan itu seperti menyerah pada rezim,” ujar mantan anggota Lawalata IPB ini.

Sempat bergabung dengan Yayasan Mojopahit di Mojokerto yang mengurusi tuna wisma, tuna karya dan tuna susila, lulusan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor ini kembali bergelut dalam gerakan lingkungan dengan menjadi koordinator program hutan di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

Saat itu dirinya banyak bergerak mengurusi masalah hutan, khususnya yang berkaitan dengan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) oleh pemerintah yang mengakibatkan banyak kerusakaan hutan. Dengan tanggung jawab itu, ia banyak berkeliling dari hutan ke hutan. Saat itulah dirinya mulai bersentuhan dengan masyarakat yang tinggal mendiami hutan dan masalah yang mereka hadapi.

“Saat saya fokus ke HPH, saya menyadari bahwa HPH bukan tempat yang kosong tapi ada masyarakat yang saat itu belum ada diistilahkan (disebut) masyarakat adat,” terangnya.

Temuannya dilapangan itulah yang mendorongnya berpikir bahwa masalahnya bukan hanya soal hutan dan lingkungan, namun juga soal manusia. Seiring berjalannya waktu, Abdon menemukan kenyataan bahwa isu dalam gerakan lingkungan hidup sangat terkait dengan manusia dan budaya.

Abdon kemudian memilih keluar dari Walhi pada medio 1993 dan pada tahun itu pula, bersama beberapa kawannya, mendirikan Yayasan Sejati yang fokusnya bukan hanya melihat berbagai kasus hutan di Indonesia sebagai masalah lingkungan namun juga masalah budaya. Dalam perjalanannya bersama Yayasan Sejati, Abdon semakin banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh adat yang ditingkat lokal sudah melakukan perlawan terhadap HPH dan tambang.

“Jauh sebelum saya bertemu mereka, sebenarnya mereka sudah berjuang, sudah demo. Masyarakat adat itu merasa terjajah oleh hadirnya izin-izin di wilayah adat mereka,” kata Abdon.

Izin-izin resmi yang datang dari pemerintah tersebut membuat masyarakat adat selalu dalam pihak yang lemah. Mereka jadi sulit membawa kasusnya ke meja pengadilan. Kalau melakukan blokade atau menutup basecamp, mereka yang ditangkap tentara.

Hal lain yang membuat tekad Abdon bulat untuk mengurusi masyarakat adat adalah ketika ternyata kampung halamannya di tano Batak juga terjadi konflik akibat tanah adat yang dijadikan lahan konsesi ke perusahaan PT Inti Indorayon Utama oleh Departemen Kehutanan.

“Awalnya saya tidak merasa bagian masyarakat adat, saya merasa sebagai aktivis LSM, peneliti yang membantu masyarakat adat. Tapi ketika nasib yang sama saya alami, saya punya kesadaran kenapa saya harus menempati posisi aktivis kalau ternyata saya menjadi korban? Saat itu saya semakin serius mengurusi masyarakat adat, karena ini bukan gerakan mengurusi orang lain, namun gerakan yang menyangkut nasib saya, nasib kampung saya, nasib saudara-saudara saya,” jelas pria yang fasih berbahasa Batak ini.

(Selanjutnya…)

Top