Jakarta (Greeners) – Upaya selebrasi mematikan lampu dan alat elektronik dalam gerakan Earth Hour hendaknya diiringi dengan aksi komitmen memerangi perubahan iklim secara berkelanjutan. Salah satunya aksi ini komunitas Earth Hour Mataram lakukan secara rutin untuk melindungi bumi.
Perwakilan komunitas Earth Hour Mataram Wibisono Setiyoadi mengatakan, lambang 60 + pada Earth Hour menunjukkan dorongan agar masyarakat tak sekadar merayakan selebrasi mematikan lampu selama 60 menit, tapi melakukan aksi lanjutan.
“Bukan sekadar selebrasi tapi ini adalah movement after dari kegiatan tersebut. Aksi kita harus menjadi aksi yang berkelanjutan dan melindungi bumi,” katanya dalam program Sabi bersama dengan Greeners, Sabtu (26/3).
Earth Hour merupakan gerakan yang berasal dari Sydney Australia. Gerakan ini untuk mengingatkan pemakaian listrik maupun sumber daya dari listrik yang sekarang masih didominasi energi tak terbarukan seperti batu bara.
Wibi berharap, gerakan Earth Hour dapat memantik aksi-aksi perubahan iklim. “Mungkin dampak dari Earth Hour tidak terlalu banyak dengan mematikan satu jam. Tapi impact ke depannya melalui aksi kita mematikan lampu selama satu jam ini seperti apa,” ujar dia.
Earth Hour Aksi Kecil yang Berdampak Besar
Ia menegaskan aksi-aksi kecil dan sederhana bisa semua kalangan lakukan. Misalnya, mulai menerapkan gaya hidup bersepeda daripada kendaraan bermotor, menanam pohon, hingga memastikan pemilahan sampah. Bermula dari aksi kecil inilah, sambung dia gerakan aksi melawan perubahan iklim menular ke lingkup keluarga, hingga pertemanan dan masyarakat.
“Konkret dari gerakan ini yaitu menginginkan adanya domino efek dari masyarakat dimulai dari diri sendiri hingga masyarakat,” ujarnya.
Komunitas Earth Hour telah tersebar di 30 kota di Indonesia, dari Aceh hingga Papua. Wibi mengaku telah bergabung dengan Komunitas Earth Hour Mataram sejak tahun 2017. Tak sekadar melakukan aksi simbolis berupa mematikan lampu dan alat elektronik setiap tahun. Akan tetapi, ada beragam aksi yang rutin mereka lakukan, baik dari terkait edukasi dan aksi lingkungan.
“Misalnya kita ada penanaman mangrove, edukasi ke anak-anak dan generasi muda baik formal maupun non formal, serta aksi beach clean up,” ungkapnya.
Khusus untuk aksi beach clean up, sekaligus dengan aksi pendataan sampah di pantai yang rutin setiap bulan komunitas lakukan. Menurut Wibi, pantai di wilayah Mataram sangat kaya sekaligus rentan terhadap sampah. Oleh karenanya penting untuk memastikan kebersihannya.
Baru-baru ini lanjutnya, imbas banyaknya sampah yang berserakan dalam helatan MotoGP di Sirkuit Mandalika, Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB), wajah NTB menjadi kotor karena sampah. Ia menyebut, potensi wisata dan agenda besar MotoGP di satu sisi mendatangkan keuntungan ekonomi terhadap NTB.
Akan tetapi, jika tak diiringi dengan kesadaran akan sampah, gelaran ini berdampak fatal terhadap kerusakan lingkungan alam. “Terlebih urusan sampah dan faktor lingkungan ini masih dikesampingkan, belum jadi prioritas,” imbuhnya.
Anak Muda Harus Peduli Urusan Sampah dan Perubahan Iklim
Padahal, sambung dia pemerintah provinsi NTB sudah sangat memperhatikan dalam urusan sampah, misalnya melalui program NTB Zero Waste. Saat ini, menurut pantauan Kamis (24/3) masih banyak sampah dan belum terpilah, kondisi juga masih kotor. Kondisi ini membutuhkan keterlibatan semua pihak, baik itu pemerintah daerah, pengelola kawasan serta masyarakat secara luas.
Baru-baru ini beredar sebuah video kondisi tribun penonton Sirkuit Mandalika pascaseri kedua MotoGP 2022 Mandalika yang menghebohkan warganet. Dalam video unggahan di medsos, sampah-sampah tampak berserakan. Wibi menyayangkan hal itu karena dapat merusak citra Indonesia di mata luar negeri.
Sementara itu, generasi muda banyak mendominasi komunitas Earth Hour. Wibi menekankan pentingnya peran kalangan pemuda dalam memerangi perubahan iklim. “Kita bisa bilang nantinya pemuda yang menentukan masa depan bumi ini. bagaimana ke depannya anak-anak muda menjadi sosok pengubah untuk perubahan iklim ke depan,” tuturnya.
Tak hanya pemuda, peningkatan kesadaran akan perubahan iklim juga harus masyarakat luas lakukan. Misalnya, banyaknya masyarakat bahkan industri pariwisata dan perhotelan yang berpartisipasi dalam selebrasi Earth Hour.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin