YKRI Ajak Pemuda Mengenal Biopiracy dan Perdagangan Satwa Liar Ilegal

Reading time: 2 menit
ykri
Foto: greeners.co

Jakarta (Greeners) – Guna mencegah meluasnya praktik biopiracy dan perdagangan satwa liar ilegal di Indonesia, Yayasan Kebun Raya Indonesia (YKRI) menggelar “Diskusi Bhumi” pada tanggal 27 September 2017 di Sekretariat YKRI di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Dalam acara tersebut, hadir peneliti senior mikrobiologi LIPI Prof. Endang Sukara dan Program Manager Wildlife Crime Unit World Conservation Society Indonesia (WCS) Dwi Nugroho Adhiasto sebagai pembicara. Mereka menjelaskan secara detail mengenai biopiracy dan perdagangan satwa liar ilegal.

Biopiracy adalah pembajakan keanekaragaman hayati, pencurian material biologi secara ilegal oleh korporasi dan dipatenkan secara sepihak untuk kepentingannya sendiri. Di Indonesia, potensi sumber daya alamnya sangat tinggi tapi masyarakatnya tidak begitu mengerti tentang biodiversity yang sesungguhnya. Selain itu, kemampuan kita (para peneliti di Indonesia) untuk membaca genom itu tidak begitu hebat,” papar Prof. Endang.

Menurut Endang, ada banyak faktor yang menjadikan para peneliti di Indonesia masih ketinggalan dalam meneliti dan mengembangkan biodiversitas Indonesia, antara lain dana penelitian yang kecil dan minimnya penghargaan terhadap peneliti. Hal ini turut mendorong terjadinya biopiracy.

“Alasan lain mengapa Indonesia rentan mengalami praktik biopiracy, karena Indonesia itu sering memberi izin penelitian kepada bangsa asing. Penelitian itu kan untuk bangsanya dia, bukan untuk Indonesia. Kita ini (pemerintah Indonesia) masih belum mau membayar mahal peneliti hebat untuk melakukan penelitian di laboraturium LIPI demi kejayaan bangsa Indonesia. Jumlah peneliti di Indonesia juga masih sangat sedikit, hanya ada 128 peneliti per satu juta penduduk Indonesia,” tuturnya menambahkan.

Selain diperkenalkan dengan praktik biopiracy, para peserta diskusi juga diperkenalkan dengan praktik perdagangan satwa liar secara ilegal. Kepada peserta diskusi, Dwi Nugroho menjelaskan bahwa praktik perdagangan satwa liar secara ilegal masih sering terjadi di Indonesia. Ada banyak satwa liar di Indonesia yang diburu dan diambil bagian tubuhnya oleh pihak yang tidak bertanggungjawab untuk kemudian diekspor ke luar negeri. Akibatnya, populasi dari satwa yang diburu tersebut berkurang dan statusnya terancam punah.

“Transaksi perdagangan hewan secara ilegal biasanya dilakukan di daerah-daerah Indonesia bagian timur. Mengapa demikian, karena kekuatan hukum di daerah sana (di Indonesia bagian timur) lebih lemah bila dibandingkan dengan di Jawa atau Sumatera. Di Indonesia, perdagangan hewan secara ilegal masih bisa terjadi karena adanya kerjasama antara oknum-oknum tertentu. Hewan-hewan liar hasil buruan biasanya diekspor ke luar negeri dan tentunya dijual dengan harga yang sangat tinggi,” tutur Dwi.

Dalam kesempatan tersebut, Dwi juga memperlihatkan berbagai slide show kepada peserta diskusi mengenai bagaimana cara hewan-hewan hasil buruan diperdagangkan secara ilegal. Para peserta merasa begitu miris ketika melihat gambar seekor anak orangutan diselundupkan dengan cara dimasukkan ke dalam sebuah ransel.

“Perdagangan satwa liar di Indonesia masih cukup tinggi karena adanya transaksi online yang cukup sulit dilacak. Selain itu, banyak pula ‘orang dalam’ dari suaka margasatwa atau kebun binatang yang bekerja sama dengan oknum tertentu untuk melakukan transaksi perdagangan hewan secara ilegal. Di Indonesia, hewan-hewan liar nampaknya masih belum memiliki rumah yang betul-betul aman,” terang Dwi.

Beberapa peserta yang diwawancarai Greeners mengaku bahwa mereka cukup terkejut mengetahui bahwa praktik biopiracy dan perdagangan hewan liar di Indonesia marak terjadi. Rasyid, salah satu peserta dari Jakarta Barat, mengatakan bahwa dirinya menjadi lebih menghargai keanekaragaman hayati Indonesia setelah mengikuti Diskusi Bhumi.

“Melalui kegiatan ini, saya jadi tahu ternyata baik flora maupun fauna di Indonesia perlu dijaga dengan ketat. Saya juga menjadi tahu bahwa flora dan fauna di Indonesia ternyata sudah masuk zona kritis. Dengan adanya kegiatan ini, saya sebagai orang awam menjadi lebih melek, terbuka, dan lebih respek terhadap kekayaan keanekaragaman hayati di Indonesia,” ujar Rasyid.

Penulis: Anggi Rizky Firdhani

Top