21 % Penyebab Stunting Karena Faktor Lingkungan

Reading time: 3 menit
Selain pangan, lingkungan yang buruk juga menjadi salah satu pemicu stunting. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan berdasarkan data terbaru pada 2022, angka prevalensi stunting Indonesia turun menjadi 2,8 %. Adapun saat ini angka prevalensi stunting 21,6 % sedangkan tahun 2021 angka stunting yakni mencapai 24,4 %.

Kendati demikian, hal ini masih tetap harus hati-hati. Stunting disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari makanan, kesehatan ibu saat hamil dan melahirkan, hingga sanitasi lingkungan.

Berdasarkan studi di 137 negara, faktor lingkungan termasuk kondisi air dan sanitasi yang buruk, hingga pencemaran berkontribusi terbesar kedua terhadap angka stunting, yakni 21,7 % setelah faktor dari kesehatan ibu saat hamil.

Peneliti Global Health Security Dicky Budiman menyebut, saat pandemi Covid-19 ini tingkat kemiskinan meningkat, sehingga banyak keluarga yang tak dapat mengoptimalkan pemicu stunting tersebut. Selama pandemi orang mengeluh makanan, termasuk makanan yang layak bergizi dan berprotein tinggi. Lalu belum juga sanitasinya apakah sudah layak.

“Artinya sangat jelas bahwa orang yang tinggal di lingkungan kumuh dengan tingkat lingkungan yang tercemar akan sering kali sakit, ibu hamil sakit, hingga anaknya bisa stunting,” katanya kepada Greeners, Rabu (25/1).

Manfaatkan sumber pangan lokal untuk mencegah stunting. Foto: Freepik

Stunting dan Ancaman Pencemaran Lingkungan 

Tak hanya itu, tingkat pencemaran baik di darat, laut, hingga udara serta kerusakan lingkungan juga berkontribusi besar. Sebab, buah-buahan yang bernutrisi akan semakin terbatas, demikian pula ikan yang kaya akan protein akan semakin terbatas. “Misalnya ikan yang mengandung mikroplastik dan saat anak atau ibu cerna bisa jadi malnutrisi. Ini yang kerap tak kita sadari,” ujar dia.

Ironisnya, jika malnutrisi ini kemudian terjadi pada ibu hamil dan berdampak pada tumbuh kembang si bayi. “Dalam posisi yang semakin rentan karena malnutrisi membuat tubuh si bayi atau ibu hamil kurang responsif terhadap infeksi dan akan berkontribusi pada stunting,” paparnya.

Tak hanya itu, Dicky juga mengingatkan akan pentingnya vaksinasi, terutama pada ibu hamil. Menurutnya, ibu hamil yang tidak atau jarang melakukan vaksin maka berpotensi besar terhadap infeksi dan berdampak pada stunting pada anak yang akan lahir.

Sementara FAO Food Security and Nutrition Officer Dewi Fatmaningrum menyatakan, penyebab utama stunting di Indonesia yaitu masih kurangnya asupan gizi anak sejak awal masa emas 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), mulai dari sejak dalam kandungan hingga berusia dua tahun.

“Para periode 1.000 HPK inilah organ-organ vital seperti otak, hati, jantung, ginjal, tulang mulai terbentuk dan terus berkembang. Stunting akan terlihat pada anak saat berusia 2 tahun saat tinggi rata-rata anak kurang dari anak seusianya,” imbuhnya.

Indonesia mempunyai beragam potensi pangan untuk meningkatkan gizi masyarakat. Foto: Freepik

Ingatkan Potensi Pangan Lokal

Dewi menyebut sejatinya potensi pangan lokal di Indonesia sangat kaya dan beragam dan sangat terjangkau. Aneka makanan sumber protein baik hewani maupun nabati, seperti berbagai jenis ikan laut, tahu, dan tempe. Begitu pula dengan berbagai makanan sumber vitamin dan mineral seperti sayur dan buah lokal.

“Buah dan sayur lokal serta musiman merupakan strategi pemenuhan kebutuhan vitamin dan mineral yang murah dan mudah terjangkau masyarakat,” kata dia.

Pangan lokal di wilayah sekitar tak membutuhkan distribusi pangan yang panjang. Sehingga dapat memperpendek rantai distribusi sehingga harga pangan lokal lebih terjangkau masyarakat.

Spesialis gizi klinik Diana Suganda juga berpandangan senada. Ia mengatakan, potensi stunting anak bahkan bisa terjadi karena penyakit anemia yang dari calon ibu derita sejak masih remaja. “Karena banyak anak-anak remaja yang kurang terdeteksi kekurangan gizi. Tapi begitu terdeteksi saat sudah hamil,” tuturnya.

Ia juga melihat bahwa pencemaran lingkungan, seperti logam berat juga memengaruhi makanan. “Mungkin kalau pengaruh hilangnya kandungan gizi seperti protein ini kecil, tapi lebih ke pencemaran logam berat.  Sehingga berdampak pada penyakit lain,” tandasnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top