Pemerintah Tetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar Bukan Karantina Wilayah

Reading time: 3 menit
Presiden Joko Widodo
Presiden Joko Widodo, saat konferensi video di Istana Bogor, Selasa, (31/3). Foto: Sekretariat Kabinet Republik Indonesia.

Jakarta (Greeners) – Pemerintah menetapkan pembatasan sosial berskala besar sebagai upaya pengendalian Corona Virus Disease (Covid-19). Opsi tersebut dipilih presiden meski berbagai kalangan mengusulkan karantina wilayah. “Untuk mengatasi dampak wabah Covid-19, saya telah memutuskan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB),” kata Presiden Joko Widodo, melalui konferensi video di Istana Bogor, Selasa, (31/3).

Dalam pernyataannya, presiden juga mengatakan kewenangan untuk menangani wabah berada di tangan pemerintah pusat dan harus diikuti oleh pemerintah daerah. Presiden kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19 dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.

Baca juga: Kemunculan Penyakit Zoonosis Akibat Ketidakseimbangan Lingkungan

Kepala negara juga menjelaskan akan menyiapkan semua skenario dari yang sifatnya ringan, sedang, maupun yang terburuk seperti darurat sipil. “Darurat sipil itu kita siapkan apabila memang terjadi keadaan yang abnormal. Perangkat juga harus disiapkan dan kita sampaikan, tetapi kalau keadaannya seperti sekarang ini ya tentu saja tidak,” ucap Jokowi.

Presiden Jokowi menyampaikan hingga saat ini belum ada kondisi yang berbeda. Pembatasan sosial maupun pembatasan lalu lintas, kata dia, masih dalam tahap wajar karena daerah juga ingin mengontrol provinsi masing-masing.“Tetapi sekali lagi, tidak dalam bentuk keputusan-keputusan besar, misalnya karantina wilayah dalam cakupan yang besar atau (istilah) yang sering dipakai lockdown,” ujar presiden usai meninjau pembangunan Rumah Sakit Darurat Virus Korona, di Pulau Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau, Rabu, (01/04).

Juri Ardianto

Deputi IV Kantor Staf Presiden Juri Ardianto. Foto: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Melalui konferensi video, Deputi IV Kantor Staf Presiden Juri Ardianto mengatakan PSBB ditetapkan sebagai pilihan rasional dari berbagai alternatif kebijakan yang diusulkan banyak kalangan. Ia menuturkan, di samping penyelamatan warga, terdapat pertimbangan yang menyangkut karakteristik bangsa. Dengan pulau-pulau yang tersebar, kata Juri, ada pertimbangan demografi maupun pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat. Yuri menyebut, keputusan PSBB diambil untuk melanjutkan kebijakan yang sudah dilakukan pemerintah dalam percepatan penanganan Covid-19.

Ia mengatakan, dengan terbitnya PP dan Keppres ini, para kepala daerah diminta tidak membuat kebijakan sendiri-sendiri yang tidak terkoordinasi. “Kebijakan pemerintah terhadap percepatan penanganan wabah, ialah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bukan kebijakan yang lain. Jadi, kita semua pemerintah pusat, pemerintah daerah, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 secara konsisten menjalankan kebijakan ini dan sungguh-sungguh melawan pandemik Covid-19 bersama-sama,” ujar Juri.

Baca juga: Peneliti: Manusia Berperan dalam Penyebaran Virus Patogen

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2020, disebutkan bahwa PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid-19 untuk mencegah kemungkinan penyebaran Covid-19. Juri juga membenarkan bahwa peliburan sekolah, bekerja di rumah, pembatasan kegiatan keagamaan dan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, termasuk ke dalam peraturan tersebut.

“Tetapi saat PP diterbitkan, presiden dan pemerintah ingin pelaksanaan dari PSBB ini lebih tegas, efektif, terkoordinasi, dan disiplin. Sehingga ada dasar hukum, (agar) gugus tugas, pemda dapat mengambil kebijakan penting dalam pembatasan lalu lintas, arus orang, arus barang, dan kegiatan lain di masyarakat,” ucapnya.

Darurat Sipil Salah Kaprah

Adapun, Manajer Kampanye Air, Pangan, Ekosistem Esensial, Eksekutif Nasional, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Wahyu Perdana mengatakan, jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, seharusnya otoritas tertinggi berada pada aspek kesehatan. Sedangkan implementasi kebijakan PSBB yang dibuat pemerintah, kata dia, sudah dilakukan masyarakat sebelumnya.

Sementara pada opsi darurat kesehatan, Wahyu menilai penetapan dilakukan melalui karantina wilayah khususnya untuk zona merah seperti DKI Jakarta. Menurutnya, karantina wilayah ini juga memiliki konsekuensi tersendiri. Sebab negara harus memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Jika pemerintah tidak siap, kata dia, jangan lantas masuk pada darurat sipil.

“Kami melihat tahapannya mengarah ke darurat sipil. Jadi, salah kaprah. Tanpa arahan yang jelas, bukan hanya berbahaya untuk penanggulangan pandemi, tetapi yang lebih parah, negara turut mengakibatkan konflik horizontal di masyarakat,” ucapnya.

Ia mengingatkan agar pemerintah mendengarkan rekomendasi para dokter dari berbagai organisasi. Misalnya Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Ikatan Ahli Urologi Indonesia, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Eijkman Institute, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dan lainnya. Para ahli dari berbagai lembaga di antaranya menyebutkan, pembatasan sosial berupa lockdown dapat dilakukan dengan modifikasi. Misalnya dengan memperjelas dan mempertegas aturan di daerah prioritas seperti di DKI Jakarta saat ini.

“Sejak awal, para ahli kesehatan sudah memberikan rekomendasi lockdown pada kawasan zona merah seperti Jakarta. Sayangnya tidak dilaksanakan dan kejadiannya memburuk seperti saat ini,” ujar Wahyu.

Penulis: Dewi Purningsih

Top