Jakarta (Greeners) – Polemik swastanisasi air atau privatisasi air di Jakarta semakin panas. Beberapa lembaga swadaya masyarakat kembali mendesak Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk menghentikan kontrak dengan PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA) dan PT Aetra Air Jakarta. Data menunjukkan bahwa cakupan layanan pihak swasta hanya 14% selama 21 tahun bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Kepala Seksi Pembangunan dan Peningkatan Air Baku dan Air Bersih Dinas Sumber Daya Air (SDA) Provinsi DKI Jakarta, Aditya Putra Brata mengatakan bahwa pada tahun 1998 Perusahaan Air Minum Jakarta (PAM) melakukan kerja sama pada dua mitra, yaitu Palyja dan PT Aetra dengan masa kontrak selama 25 tahun (sampai dengan tahun 2023). Tapi sampai dengan saat ini, cakupan layanan air bersih di seluruh Jakarta baru 59% yang dilayani air PAM. Sisanya kemungkinan menggunakan air tanah atau membeli dari penjual air dengan gerobak atau tangki air.
“Sebelum melakukan kontrak dengan para mitra di tahun 1998 itu, setahu saya layanan air PAM di Jakarta sudah mencapai 45% di seluruh Jakarta. Jadi angka 59% itu tidak mulai dari nol melainkan sudah hampir mencapai setengahnya melalui kerja PAM sendiri. Jadi sebenarnya mereka (para mitra) ini melayani Jakarta hanya sekitar 14%. Kalau dilihat seperti ini mereka kemampuannya kurang dan pencapaiannya rendah,” ungkap Aditya kepada Greeners saat ditemui di Kantor Sumber Daya Air, Jakarta, Selasa (09/04/2019).
Aditya mengatakan wilayah yang belum terlayani air bersih di wilayah Jakarta ialah sisi Barat, Utara, dan sedikit di Selatan. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih biasanya masyarakat di wilayah tersebut membeli air menggunakan jeriken. “Saat ini air baku di Jakarta hampir 97% berasal dari luar Jakarta; 81% dari waduk Jatiluhur dan sekitar 16% dari Tangerang, itupun air curah yang sudah diolah,” katanya.
BACA JUGA: Kualitas Air di Jakarta Dipertanyakan, Kandungan E-Coli Melebihi Ambang Batas
Di bawah kontrak 1998, wilayah konsesi para mitra ini dibagi menjadi dua. Sepanjang kali Ciliwung dari hulu hingga hilir sisi timur dikelola oleh PT Aetra dan sisi barat dikelola oleh Palyja.
Berdasarkan data yang diberikan oleh Palyja, pelanggan yang terlayani layanan air bersih dengan konsesi yang dipegang oleh Palyja hingga tahun 2018 meliputi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah 40.663 kelompok, kelompok sosial (2.717), kelompok rumah tangga sederhana (117.236), kelompok rumah tangga menengah dan usaha kecil (73.580), kelompok rumah tangga mewah dan usaha menengah (128.656), dan kelompok usaha skala besar (43.949).
Sayangnya untuk PT Aetra sendiri sampai berita ini diterbitkan tidak memberikan penjelasan maupun data kepada Greeners.
Aditya mengatakan bahwa seharusnya layanan air bersih dikelola oleh pemerintah karena pengelolaan dengan swasta menggunakan sistem keuntungan. Sistem penyediaan air bersih ini juga sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 122 Tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum.
“Kalau swasta akan melihat di sisi mana yang profit dan tidak ada profit. Kalau di Peraturan Gubernur tarif terendah Rp1.050 dan tertinggi Rp10.000, kalau saya pihk swasta pasti akan memilih menerapkan yang mahal, makanya di PP tersebut layanan air wajib dikelola oleh pemerintah. Kerja sama bukannya tidak boleh tapi ada batasannya mana yang boleh dan tidak boleh mengacu kepada PP tersebut. Tapi saya melihat di kontrak 1998 tersebut tidak banyak menguntungkan pemerintah. Sangat disayangkan kita intensnya baru sekarang untuk mengevaluasi itu,” kata Aditya.
BACA JUGA: Polemik Swastanisasi Air di Jakarta, Publik Diminta Pegang Kendali Pengelolaan
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta yang diwakili oleh Suhendi menilai bahwa kontrak 1998 tidak melibatkan publik dan tidak transparan padahal Gubernur DKI Jakarta berulang kali menyatakan bahwa “air adalah barang publik”. Ia menyayangkan Gubernur DKI Jakarta tidak melibatkan publik dalam mengambil kebijakan untuk menghentikan swastanisasi air di Jakarta.
“Hal ini menunjukan apa yang disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta kontra produktif dengan sikapnya dalam mengambil kebijakan. Minimnya transparansi dan partisipasi publik ini kemudian menghasilkan tiga mekanisme yang ditawarkan oleh Tim Tata Kelola Air pasca kajian yang sudah dilakukan selama enam bulan terakhir, dimana semua mekanisme yang ditawarkan ini sama sekali tidak memberikan solusi, namun justru berpotensi mengulang masalah dan menimbulkan persoalan baru terkait pengelolaan air di Jakarta,” kata Suhendi.
Berikut ini desakan Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta yang ditujukan kepada Gubernur DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta:
1. Gubernur DKI Jakarta untuk bertindak tegas dan tidak hanya membuat janji palsu dalam menegakkan mandat Konstitusi untuk mengembalikan pengelelolaan air oleh Negara untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat;
2. Gubernur DKI Jakarta melibatkan publik dalam pengambilan kebijakan untuk menghentikan swastanisasi air dan pengembalian pengelolaan air di Jakarta pada Negara;
3. Gubernur DKI Jakarta menegakkan mandat Konstitusi dengan memutus kontrak antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT PAM Lyonnaise Jaya (PT PALYJA) dan PT AETRA Air Jakarta;
4. DPRD DKI Jakarta untuk mengawasi rencana pengambilan keputusan pengambilalihan pengelolaan air Jakarta.
Penulis: Dewi Purningsih