Jakarta (Greeners) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengumumkan bahwa selama dua tahun terakhir, setidaknya terdapat 721 izin pertambangan yang dicabut atau tidak diperpanjang di 12 provinsi di Indonesia. Sedangkan 70 persen di antaranya adalah untuk pertambangan batubara. Pencabutan ini sendiri adalah bagian dari proses koordinasi dan supervisi (Korsup Minerba) KPK.
Koalisi Anti Mafia Tambang pun menyerukan kepada KPK untuk terus melanjutkan pengawasan terhadap sektor mineral dan batubara agar kepastian reformasi tata kelola secara total bisa terwujud.
Pius Ginting, juru bicara Koalisi Anti Mafia Tambang, mengatakan kalau KPK harus terus menunjukkan keseriusan mereka dengan melanjutkan Korsup Minerba dan menaikan tingkatnya mencakup Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang mencapai lebih dari 70 persen dari produksi nasional.
Untuk itu, katanya, Koalisi menuntut KPK untuk memberikan sanksi kepada perusahaan yang tidak mematuhi peraturan dan menyerukan kepada KPK untuk meningkatkan kolaborasi dengan lembaga penegak hukum lainnya.
“Jumlah izin dicabut atau tidak dilanjutkan sejauh ini hanya sekitar 20 persen dari total jumlah yang direkomendasikan untuk ditutup dan itu belum clean and clear. Beberapa di antaranya beroperasi di kawasan hutan tanpa izin pinjam pakai dan beberapa berada di daerah konservasi,” tambahnya.
Timer Manurung yang juga juru bicara Koalisi Anti Mafia Tambang mengungkapkan, tata kelola yang buruk di sektor ini adalah masalah yang serius. Banyak perusahaan pertambangan mulai beroperasi tanpa memberikan jaminan reklamasi. Banyak bekas lubang tambang ditinggalkan begitu saja, dan mengakibatkan kecelakaan fatal dan bencana lingkungan.
“Di Kalimantan Timur, setidaknya 19 anak tenggelam dan tewas di lubang tambang yang ditinggalkan sejak tahun 2011,” tandasnya.
Sebagai informasi, Gubernur dari 12 provinsi diundang ke KPK pada hari Senin, 15 Februari 2016, untuk mendengar hasil dari proses supervisi di wilayah mereka dan membahas langkah-langkah aksi berikutnya. Kepada mereka juga disajikan indeks kinerja yang disusun oleh Koalisi Anti Mafia Tambang.
Ke-12 provinsi tersebut adalah Riau, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur (termasuk Kalimantan Utara), Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
Sulawesi Tengah mendapatkan skor tertinggi dengan dengan indeks 68, dan pencabutan 12 izin yang tidak clean and clear dan penurunan yang signifikan wilayah tumpang tindih pertambangan dengan kawasan konservasi. Kalimantan Selatan berada pada posisi terakhir dengan hanya satu izin bermasalah yang dicabut dan skor indeks 32.
Para Bupati, Walikota, dan Gubernur dari 12 provinsi diberi serangkaian rencana aksi yang telah disepakati sebelumnya. Rencana aksi tersebut termasuk manajemen perizinan, kewajiban keuangan korporasi, serta pengembangan industri hilir.
Para pemimpin pemerintah daerah di 12 provinsi secara intensif berkoordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dalam melaksanakan rencana aksi mereka. Setiap tiga bulan, mereka harus menyampaikan laporan kemajuan kepada Kementerian. Seluruh proses berada di bawah pengawasan KPK.
Koalisi Anti Mafia Tambang didukung oleh Auriga, Walhi, Jatam, SAINS dan CSO daerah termasuk Sampan. Bersama dengan jaringan CSO daerah, Koalisi terlibat dalam koordinasi dan pengawasan sektor mineral dan batubara dan KPK.
Penulis: Danny Kosasih