Penggunaan Merkuri Diproyeksi Melonjak, Regulator Tunjuk PETI sebagai Biang Kerok

Reading time: 3 menit
Penggunaan Merkuri oleh Penambang Tanpa Izin
Penggunaan Merkuri Diproyeksi Melonjak, Regulator Tunjuk PETI sebagai Biang Kerok. Foto: Shutterstock.

Direktorat Lingkungan Hidup, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah menganalisis timbulan dan kebijakan pengelolaan limbah B3. Dalam analisis tersebut terdapat proyeksi penggunaan merkuri pada tahun 2045 sebanyak 8234.1 ton per tahun atau dua kali lipat dari 2019. Salah satu masalah terbesar dalam pengelolaan merkuri adalah sektor Pertambangan Tanpa Izin (PETI).

Jakarta (Greeners) – Direktur Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam, mengatakan PETI –termasuk di dalamnya Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK)– harus jadi perhatian untuk mengurangi penggunaan merkuri sampai 100 persen. Menurutnya, perlu ada penanganan secara menyeluruh, komprehensif, dan nasional. Pasalnya, bahaya merkuri tidak hanya berdampak pada lingkungan, tapi juga kesehatan masyarakat.

“Tiga puluh persen pekerja di pertambangan rakyat tanpa izin adalah wanita yang berkontakan dengan anak-anak,” ujar Medrilzam dalam webinar Penguatan Implementasi Konvensi Minamata yang Efektif di Indonesia, Kamis (10/12/2020).

Penegakan Hukum Bukan Jalan Penyelesaian PETI

Madrilzam menilai penanganan PETI tidak bisa selalu melalui proses penegakan hukum. Meski sulit, perlu ada solusi lain melalui edukasi dan pembinaan. Menurutnya, jika mengandalkan penegakan hukum akan berdampak pada banyak aspek lain misal sosiologis dan antropologis.

Dia menyebut terdapat dua bantuan penting bagi PETI. Pertama, peningkatan secara teknis melalui peningkatan kapasitas SDM dan teknologi agar proses lebih efisien dan ramah lingkungan. Kedua bantuan non teknis seperti manajemen organisasi dan penyediaan akses finansial bagi penambang rakyat.

“Pertambangan (tanpa izin) ini sifatnya turun temurun, rakyat terbiasa, dan jadi kehidupan normal. Penegakan hukum akan sulit kalau seperti itu. Di sisi lain akan ada back up dari oknum,” jelasnya.

‘Menghilangkan Merkuri Tidak Semudah Membalikan Telapak Tangan’

Pada kesempatan yang sama, Pengendali Dampak Lingkungan Ahli Utama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Yun Insani, mengungkapkan upaya menghilangkan merkuri tidak semudah membalik telapak tangan. Begitu pula ketika menangani PESK. Selama ini, lanjut dia, kerap terjadi tumpang tindih wilayah dan pemberian izin wilayah tambang rakyat.

Yun menjelaskan pemerintah telah memiliki Undang-undang nomor 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai landasan penataan kembali PESK. Penataan menjadi penting mengingat mudahnya akses mendapatkan merkuri. Merkuri sendiri, lanjutnya, berasal dari batu sinabar. Yun menerangkan, di Indonesia sangat mudah menghasilkan merkuri dari batu sinabar sebab terletak di wilayah Ring of Fire atau Sabuk Api.

“Di tingkat tapak, kita merasakan sulitnya. Ketika penataan satu PESK selesai, muncul lagi PESK baru yang menghasilkan batu sinabar,” ucapnya.

Penambangan emas

Pengendali Dampak Lingkungan Ahli Utama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Yun Insani, mengungkapkan upaya menghilangkan merkuri tidak semudah membalik telapak tangan. Foto: Shutterstock.

Baca juga: Menyorot Kekayaan Alam Sebagai Transaksi Pembiayaan Politik Pilkada

Kementerian ESDM: Hanya 534 Tambang Kantongi Izin Usaha Pertambangan

Sementara itu, Kepala Sub Direktorat Hubungan Komersial Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Imam Bustan, menjelaskan pihaknya pernah melakukan penataan ulang pertambangan pada 2010 dan 2011. Menurut hasil penataan ulang, dia mendapati dari 1.100 izin usaha pertambangan (IUP) yang ada, jamak izin tumpang tindih dan tidak sesuai. Berdasarkan program tersebut, hanya 534 usaha pertambangan yang benar-benar memiliki IUP yang sah.

Lebih jauh, dia menyoroti mudahnya PETI dalam menggunakan merkuri untuk pertambangan. Menurutnya, selama ini proses pengendaliannya sulit sebab ketiadaan izin tersebut. Hal tersebut menyulitkan proses pengawasan dan pengendalian secara teknis.

“Pemantauan teknis bisa menghapus penggunaan merkuri oleh tambang ilegal. Pada saat di lapangan, tambang PETI lebih mudah menggunakan merkuri dan beralih ke sianida. Ini banyak jumlah yang dipakai dan merusak lingkungan baik sungai maupun tanah yang digunakan,” tegasnya.

Imam menjelaskan penataan dan pendataan PETI sudah tercantum dalam UU nomor 3 tahun 2020. Dengan begitu pemantauan dan pengendalian tambang akan lebih tertata secara teknis maupun kebijakan lainnya.

“Perlu sosialisasi dan bimbingan terkait bahaya penggunaan merkuri dan potensi kerugian atas adanya kegiatan PETI. Ini jadi tugas Pemda dan kementerian atau lembaga sesuai kewenangannya,” pungkasnya.

Penulis: Muhammad Ma’rup

Editor: Ixora Devi

Top