Jakarta (Greeners) – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan berdasarkan analisis update seluruh Zona Musim di Banten dan DKI Jakarta telah memasuki musim kemarau dan mengalami deret hari kering lebih dari 20 hari hingga lebih dari 60 hari. Oleh karena itu diperlukan kewaspadaan terkait ancaman bencana kekeringan.
Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, Siswanto, mengatakan potensi kejadian kekeringan meteorologis mengacu pada analisis dan prakiraan curah hujan terkini.
Hampir sebagian besar Jakarta terutama wilayah bagian utara, pusat, barat dan timur memiliki potensi terdampak kekeringan meteorologis dengan status awas. Demikian juga wilayah Banten pesisir utara dan pesisir selatan. Sisanya umumnya berstatus waspada.
BACA JUGA : Musim Kemarau Datang, Penanganan Karhutla Diintensifkan
“Status awas Peringatan Dini Kekeringan Meteorologis menandai wilayah yang telah mengalami paling sedikit 2 bulan hari kering (tanpa hujan) disertai potensi curah hujan rendah <20mm pada 20 hari mendatang,” ujar Siswanto kepada Greeners, Kamis (22/08/2019).
Menurut data HTH (Hari Tanpa Hujan) hingga update 20 Agustus 2019 menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Banten dan DKI Jakarta mengalami deret hari kering lebih dari 20 hari hingga lebih dari 60 hari.
“Kekeringan meteorologis tidak hanya melanda Jakarta dan Banten, tapi secara umum di wilayah Indonesia bagian selatan dari NTT, NTB, Bali, Madura, Jawa hingga Sumsel,” ujar Siswanto.
Sementara itu, prakiraan peluang curah hujan pada dasarian III Agustus dan dasarian I September 2019 menunjukkan bahwa beberapa daerah diperkirakan akan mengalami curah hujan sangat rendah (kurang dari 20mm/dasarian) dengan peluang hingga lebih dari 90% pada.
“kekeringan ini juga akan berakibat pada musim penghujan yang mengalami keterlambatan hingga 1 bulan atau diperkiraan baru memasuki musim hujan pada bulan November,” ujar Siswanto.
Siswanto mengatakan penyebab kekeringan ini berkaitan dengan puncak musim kemarau bulan Agustus, kekuatan keringnya makin intensif karena suhu permukaan laut selatan Jawa lebih dingin dari normalnya.
Lebih dinginnya Samudera Hindia bagian timur dapat pula dikaitkan dengan anomali gangguan iklim Samudera Hindia berupa kejadian Dipole Mode, yaitu menghangatnya Samudera Hindia ekuator bagian barat dan tengah, namun lebih dingin di bagian timur yaitu barat Sumatera bagian selatan dan selatan Jawa.
BACA JUGA : Titik Api Pemicu Karhutla di Riau Mulai Berkurang
“Dipole mode ini memiliki variabilitasnya antar tahun, siklusnya 2-8 tahun. 2015 salah satu IOD+ (Indian Ocean Dipole) yang terkuat bebarengan dengan El Nino ketika itu. Jadi panas sekarang ini juga mirip dengan kejadian 2015 itu, namun masih dikatakan lemah IOD+nya,” jelas Siswanto.
Potensi bencana kekeringan ini berdampak pada sektor pertanian yang menggunakan sistem tadah hujan di wilayah Banten dan DKI Jakarta, pengurangan ketersediaan air tanah menyebabkan kelangkaan air bersih di wilayah Banten dan DKI Jakarta dan berdampak pada meningkatnya polusi udara di wilayah Banten dan DKI Jakarta.
Oleh karenanya, BMKG mengimbau masyarakat untuk menghemat air dan tidak boros energi, menjaga kondisi dan vitalitas tubuh, dan tidak membakar sampah sembarangan yang bisa menyebabkan polusi udara semakin meningkat.
Penulis: Dewi Purningsih