Daur Ulang Plastik Tak Boleh Mencemari Lingkungan

Reading time: 2 menit
Aktivitas daur ulang plastik di Desa Losari, Mojokerto. Foto: Greeners/Ramadani Wahyu

Sidoarjo (Greeners) – Praktik daur ulang plastik tidak boleh gegabah. Residu daur ulang sampah plastik sangat mungkin lepas dan mencemari lingkungan.

Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) bersama Ecoton dan Nol Sampah mengungkap ancaman kesehatan dan lingkungan dari proses pembuatan biji daur ulang plastik yang ada di Desa Losari, Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Founder Nol Sampah Hermawan Some menekankan, pentingnya optimalisasi pemilahan jenis plastik saat daur ulang. Sebab, tiap jenisnya memiliki karakteristik titik leleh yang berbeda.

“Ketika PET dan PE pada ada suhu tertentu ini titik lelehnya berbeda. Ada yang terurai bagus dan tidak,” katanya dalam media gathering AZWI, di Sidoarjo, Selasa (7/2).

Yang lebih berbahaya lanjutnya, pewarna dari kemasan-kemasan plastik tersebut akan menguap dan memicu aroma menyengat.

Menurutnya, meski daur ulang plastik dapat mengurangi jumlah sampah plastik yang menumpuk, namun berdampak negatif pada lingkungan (false solution management). Dalam kurun waktu yang lama, plastik akan terdegradasi dan mengeluarkan zat-zat karsinogenik. Bisa memicu kanker dan kerusakan jaringan pada bagian tubuh manusia. 

Selain itu, limbah plastik yang terbuang bisa mencemari air dan lingkungan. Ia menekankan pentingnya Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk mengoptimalisasi pengelolaan limbah.

Suasana pelelehan sampah plastik. Foto: Greeners/Ramadani Wahyu

Berdampak ke Lingkungan dan Manusia

Senada dengannya, Peneliti Ecoton Eka Clara Budiarti menilai, pembakaran plastik tak sekadar menghilangkan sampah. Zat-zat yang menguap berdampak signifikan ke manusia dan lingkungan.

Ecoton dan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang tahun 2021 juga menemukan dalam pengelolaan sampah termal manual maupun PLTSA, terdapat partikel mikroplastik yang terlepas.

“Teknologi apapun saat sampah ditermalkan maka mikroplastik akan tetap ada,” imbuhnya.

Ia menyebut, berdasarkan riset kerja sama Ecoton dengan Nexus 3 dan IPEN di pabrik tahu Tropodo, Sidoarjo ditemukan bahan-bahan kimia berbahaya, seperti dioxin, polychlorinated biphenyils (PCBs), polybrominated diphenyl ethers (PBDEs), short-chain chlorinated paraffins (SCCPs), dan perfluorooctane sulfonate (PFOS).

“Zat kimia seperti dioksin ini sangat berbahaya, termasuk pemicu kanker,” ucapnya.

Berdasarkan studi ini, Indonesia peringkat kedua se-Asia dengan kasus dioksin tertinggi yang mereka temukan dalam telur ayam kampung. Konsentrasi dioksin sebanyak 70x lipat dan PFOS sebanyak 1.3x lipat melebihi baku mutu asupan harian manusia yang Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) atur.

Penjelasan terkait dampak sampah plastik (di layar). Foto: Greeners/Ramadani Wahyu

IPAL untuk Daur Ulang Plastik

Di sisi lain, pembakaran plastik ini juga berdampak signifikan terhadap perubahan iklim. Pengamat persampahan dari Institusi Teknologi Bandung (ITB) Enri Damanhuri berpendapat, tak semua sampah plastik laku terjual. “Mungkin hanya sekitar 25 % yang lapak ambil atau bank sampah jual ke pembuat biji,” kata dia kepada Greeners.

Selain itu, proses daur ulang plastik berpotensi besar menghasilkan mikroplastik dan berdampak buruk pada manusia dan lingkungan.

Oleh sebab itu harus meminimalisir dampak dan memastikan standar keamanan para pekerja (alat pelindung), dan IPAL. “Bila pabriknya tertib, dampak tersebut dapat dikurangi. Termasuk dampak akibat kesehatan, dan keselamatan pekerjanya,” paparnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top