Pengamat Hukum: Pemda Berwenang Membuat Aturan Pelarangan Plastik Sekali Pakai

Reading time: 2 menit
pelarangan plastik sekali pakai
Konferensi pers “Dukung Pelarangan Plastik Sekali Pakai di Indonesia”, Jakarta, Senin (29/04/2019). Foto: greeners.co/Dewi Purningsih

Jakarta (Greeners) – Langkah Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) yang mengajukan uji materiil (judicial review) terhadap kebijakan pelarangan Plastik Sekali Pakai (PSP) ke Mahkamah Agung dengan alasan pelarangan tersebut tidak sesuai dengan UU Pengelolaan Sampah dinilai pengamat hukum sebagai langkah yang tidak berdasar. Pengamat hukum menyatakan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk membuat aturan pelarangan PSP dengan syarat dan batasan tertentu.

Berdasarkan Surat Permohonan Hak Uji Materiil kepada Mahkamah Agung yang telah diregister dengan No. 29 P/HUM/2019 tanggal 13 Maret 2019, ADUPI mengajukan gugatan kepada Gubernur Bali dengan materi gugatan yaitu Pasal 7 dan Pasal 9 Ayat (1) Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai.

Pergub Bali tersebut dianggap ADUPI bertentangan terhadap: 1. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 2. Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah; 3. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; dan 4. Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

BACA JUGA: ADUPI Gugat Kebijakan Pembatasan Sampah Plastik, KLHK: Tidak Perlu Khawatir! 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dr. Muhamad Ramdan Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., mengatakan bahwa dalam kasus ini ADUPI menggugat mengenai pelaksanaan keempat UU tersebut dan kewenangan pemerintah daerah dalam menerbitkan sebuah kebijakan.

“Saya katakan bahwa daerah memiliki kewenangan dalam membuat kebijakan PSP ini. Kewenangan itu ada dalam UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah yang diberikan ke daerah untuk menindaklanjuti pengurangan sampah dan memberikan kewenangan kepada gubernur untuk mengatur pengurangan timbulan sampah, karena pelarangan bagian dari pengurangan,” ujar Andri saat diwawancarai oleh Greeners usai konferensi pers “Dukung Pelarangan Plastik Sekali Pakai di Indonesia” di Jakarta, Senin (29/04/2019).

Andri mengatakan bahwa penjelasan lebih lanjut mengenai pengelolaan sampah sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Pasal 11 dalam aturan tersebut menyatakan bahwa pengurangan sampah meliputi pembatasan timbulan sampah.

Dalam bagian Penjelasan Atas PP No.81 Tahun 2012, contoh implementasi dari terminologi “pembatasan timbulan sampah” antara lain: 1. penggunaan barang dan/atau kemasan yang dapat di daur ulang dan mudah terurai oleh proses alam; 2. membatasi penggunaan kantong plastik; dan/atau 3. menghindari penggunaan barang dan/atau kemasan sekali pakai.

BACA JUGA: Rencana Pelarangan Kantong Plastik, Peritel Setuju Dikurangi Tapi Jangan Dilarang 

Dikaitkannya pelarangan plastik sekali pakai dengan pelanggaran hak asasi individu pemulung dan pendaur ulang untuk memperoleh penghidupan yang layak, Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyatakan hal tersebut tidak relevan dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

“ADUPI menanggap bahwa kebijakan PSP melanggar HAM, saya kira hal itu masuk akal karena mereka banyak memperkerjakan orang. Tapi kalau dilihat lebih jauh, kebijakan PSP ini tidak sama sekali melanggar HAM. Melarang penggunaan dan pembatasan plastik sekali pakai diniatkan untuk menjamin HAM, khususnya hak atas lingkungan yang baik dan sehat. Itu termasuk HAM juga menjamin integritas psikologis dan fisik para pekerja,” ujar Usman.

Hal itu dijelaskan pada Pasal 28D ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, International Labour Office (ILO) dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak atas Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOB).

“Jadi kalau industri daur ulang mempersoalkan kebijakan PSP ini sepertinya hanya menghitung dari segi pendapatan uang atau finansial dari industri, perusahaan tidak melihat dari segi kesejahteraan para pekerja,” jelas Usman.

Penulis: Dewi Purningsih

Top