Delegasi Indonesia Dinilai Sukses Mewakili Kepentingan Nasional di COP 21

Reading time: 3 menit
Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Delegasi Republik Indonesia (Delri) untuk perubahan iklim yang dikirim oleh Indonesia untuk melakukan negosiasi di Konferensi Perubahan Iklim Tingkat Tinggi (UNFCCC) di Paris, Perancis sepakat kalau hasil dari deklarasi Paris telah mencerminkan suksesnya negosiasi yang dilakukan oleh Delri di sana.

Ketua Dewan Pengarah Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmadja dalam konferensi Pers di Jakarta mengatakan bahwa Kesepakan Paris atau Paris Agreement sudah sangat mewakili kepentingan nasional Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan ditampungnya beberapa inisiatif yang disampaikan oleh Delri dengan baik.

Selain sukses dalam delegasi, ia juga menyatakan “angkat topi” untuk penyelenggara paviliun Indonesia karena telah sukses menarik perhatian para delegasi lain dan tokoh-tokoh internasional. Hal ini ditunjukkan dengan ramainya delegasi yang datang.

“Dan, yang menarik bagi saya adalah sukses ini bisa diselenggarakan walaupun di dalam negeri situasinya sedang diiputi oleh krisis kebakaran lahan gambut dan Presiden Jokowi telah menjelaskan masalah ini dengan gamblang dan transparan. Ini membuat mereka (delegasi negara lain) menghargai dan tepuk tangan untuk Indonesia,” terangnya, Jakarta, Jumat (18/12).

Meski demikian, ia juga memberikan beberapa masukan kepada para delegasi Indonesia untuk lebih mempersiapkan diri saat menghadapi Konferensi Tingkat Tinggi yang ke-22 di Maroko bulan November 2016 nanti. Sarwono juga mengingatkan bahwa ada pekerjaan rumah dari Indonesia yang ditunggu semua pihak termasuk dunia internasional, yaitu one map policy dan emisi gas rumah kaca yang berasal dari sektor maritim (blue carbon).

“Kita juga perlu memunculkan isu-isu yang baru, blue carbon issues yang sesuai dengan geografi kita. Bagaimanapun juga kita harus menyasar emisi dari sektor maritim dan penerbangan yang sampai sekarang belum diintegrasikan di UNFCCC, karena kita sebagai negara kepulauan sangat tergantung di dua sektor itu,” tambahnya.

Terkait hal ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyatakan meskipun kesepakatan internasional telah tercapai, hal yang lebih penting dan mendesak untuk dilakukan adalah implementasi kesepakatan yang bersinergi dengan kebijakan nasional dan daerah.

Menteri Siti juga menyatakan, dalam konteks nasional, adopsi Paris Agreement ini merupakan pengejawantahan dari UUD ‘45 dan peraturan perundangan yang terkait dengan pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan yang berkeadilan dan berkelanjutan, serta mempertegas upaya pembenahan tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan.

Menurut Siti, beberapa isu yang menghangat pada pelaksanaan COP 21 Paris antara lain terkait dengan energi terbarukan, khususnya geothermal, solar dan hydropower.

“Indonesia sudah mencanangkan akan mencapai 23 persen renewable energy pada tahun 2025, pembenahan insentif fiscal misalnya melalui pengurangan subsidi BBM, dan pembenahan sektor transportasi. Selain itu yang penting untuk diperjuangkan oleh Indonesia adalah sektor pemanfaatan lahan, kehutanan dan pertanian, dimana isu REDD diperjuangkan untuk masuk dalam skenario Paris Agreement,” katanya.

Selain proses negosiasi dalam COP 21, pemerintah Indonesia juga membawa prospek kerjasama dengan negara lain mengenai restorasi gambut. Rencana kerjasama ini sudah mendapat dukungan dari dunia internasional, antara lain dari Norwegia dan Amerika. Sementara, Australia saat ini sudah mulai ada pembahasan terkait isu maritim atau blue carbon. Isu kehutanan juga mendapat dukungan dari Jerman, Inggris dan Norwegia.

Beberapa inisiatif Indonesia yang berhasil masuk dalam Kesepakatan Paris, Direktur Jendral Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Nur Masripatin menyebutkan ada delapan inisiatif. Inisiatif tersebut yaitu mendukung tercapainya kesepakatan yang mengikat, ambisius dan adil; kesepakatan harus menghormati hak-hak dan memastikan peran komunitas lokal; kesepakatan harus mencakup pentingnya pelestarian hutan dan laut.

Selanjutnya, perlunya akselerasi implementasi aksi untuk periode sebelum 2020; upaya mitigasi para negara maju harus lebih besar daripada negara berkembang; pencerminan prinsip common but differentiated responsibilities (CBDR) dan respective capabilities (RC) berbasis science, pentingnya political signal di dalam kesepakatan terkait Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+), serta pengelolaan hutran berkelanjutan.

“Nah, soal yang REDD+ ini, banyak negara yang menolak karena setiap negara punya kepentingannya sendiri. Beberapa negara yang menolak itu karena negara mereka tidak memiliki banyak hutan atau merasa tidak memiliki masalah dengan kehutanan mereka,” pungkasnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top