Hati-Hati! Suhu Udara Jakarta Bisa Semakin Panas

Reading time: 3 menit
Suhu udara Jakarta akan semakin panas jika tak ada upaya pencegahan krisis iklim yang semakin masif. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Baru-baru ini Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut, suhu udara di Jakarta meningkat 1,5 derajat Celcius dalam waktu 100 tahun terakhir. Padahal, kenaikan suhu udara ini seharusnya terjadi pada tahun 2030 nanti.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta Suci Fitriah menilai, kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius di Jakarta menjadi indikasi bahwa aksi-aksi mitigasi iklim selama ini belum efektif.

Hal ini berbanding terbalik dengan target penurunan emisi yang cukup ambisius. Padahal, sambung dia tahun ini Jakarta mempunyai target penurunan emisi sebesar 30 % atau setara dengan 35 juta ton CO2e.

“Komitmen yang ambisius dari pemerintah tak dibarengi dengan aksi yang ambisius pula,” katanya kepada Greeners, di Jakarta, Selasa (30/3).

Bahkan, ia juga menyebut bila tak ada perubahan komitmen aksi dalam menurunkan emisi, kenaikan suhu berpeluang bisa menembus angka 2,7 derajat Celcius.

Suci menyatakan, pemerintah masih sekadar memberi solusi palsu yang sama sekali tak menyelesaikan permasalahan penurunan emisi. Sementara kontribusi terbesar peningkatan emisi dari Jakarta sebagai kawasan industri kerap terabaikan.

Misalnya, klaim pemenuhan target pembangunan RTH sebesar 30 % yang pemerintah akui sulit diwujudkan karena keterbatasan lahan di Jakarta. Di sisi lain, sambung Suci pemerintah justru memberikan izin seluas-luasnya bagi pembangunan industri.

“Pemprov Jakarta bahkan sempat merencanakan untuk ‘menitipkan’ RTH-nya ke wilayah lain, tapi justru memberikan izin pembangunan industri besar,” imbuhnya.

Polusi Udara Perburuk Kondisi Udara

Suci juga menyorot Jakarta berada di irisan wilayah yang memiliki kawasan industri dan PLTU. Hal ini turut memperburuk kondisi kualitas udara. Misalnya wilayah Tangerang yang turut berkontribusi terhadap polusi udara. Ia mendorong agar pemerintah provinsi DKI Jakarta berkoordinasi dengan daerah-daerah tersebut untuk mengatasi penurunan emisi.

Selain itu, Suci juga mendorong agar pemerintah memastikan transparansi dari inventarisasi gas rumah kaca sehingga dapat diketahui tren penurunan emisinya. Inventarisasi gas rumah kaca hendaknya pemerintah publikasikan setiap dua tahun sekali. Hal ini penting sebagai bagian evaluasi dari aksi-aksi perubahan iklim yang ada.

Aksi-aksi perubahan iklim lanjutnya, harus menjadi agenda prioritas pemerintah yang melibatkan partisipasi masyarakat luas hingga pelaku industri. “Sehingga masyarakat tak sekadar menjadi objek, tapi subjek yang terlibat aktif dalam aksi perubahan iklim,” imbuhnya.

Suhu Udara Jakarta Meningkat 1,5 Derajat Celcius

Sebelumnya Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyatakan, suhu udara di Jakarta meningkat 1,5 derajat Celcius dalam waktu 100 tahun terakhir.

Padahal, suhu udara ini seharusnya terjadi pada tahun 2030 nanti. “Jakarta dalam periode 100 tahun suhu udaranya sudah meningkat 1,5 derajat Celcius. Padahal seharusnya kenaikan suhu sebesar itu terjadi pada 2030,” katanya baru-baru ini.

Selain suhu udara, intensitas hujan imbas cuaca ekstrem di Jakarta juga BMKG prediksi terus meningkat. Waspadai curah hujan tinggi di Jakarta yang memicu banjir. Selain itu banjir di Jakarta meningkat pada dekade terakhir bersamaan dengan curah hujan ekstrem.

“Hujan yang terjadi 700 tahunan menjadi hujan 100 tahunan atau ada peningkatan tujuh kali lipat. Air hujan yang turun juga semakin asam PH-nya,” imbuhnya.

Cuaca Ekstrem Sering Muncul

Sementara itu, Kepala Pusat Layanan Informasi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan mengungkapkan, banyak penelitian telah mengindikasikan peningkatan kejadian ekstrem dan bencana hidrometeorologis sebagai pengaruh perubahan iklim akibat pemanasan global.

Lebih dari dua per tiga dari data cuaca secara global menunjukkan sinyal peningkatan kejadian ekstrem berkaitan dengan peningkatan suhu udara permukaan. Penelitian menunjukkan bahwa curah hujan ekstrem pada waktu sore, malam atau pagi hari lebih sensitif terhadap perubahan suhu atmosfer lokal.

“Di Jakarta sendiri, hujan dengan curah tertinggi yang biasanya menjadi pemicu banjir besar juga menunjukkan tren yang meningkat. Terutama pada periode musim hujan. Hujan-hujan ekstrem ini pada kondisi iklim zaman sekarang peluang kemunculannya meningkat menjadi sekitar 2,4 kali lebih sering dibandingkan dengan kondisi iklim 100 tahun yang lalu,” paparnya.

Gubernur Anies Baswedan sebelumnya telah menargetkan Jakarta nol emisi karbon atau bebas gas rumah kaca pada tahun 2050. Dalam jangka pendek yakni tahun 2022 ini Jakarta berkomitmen mengurangi emisi sebesar 30 %. Salah satu langkah yang pemerintah provinsi upayakan melalui pembuatan transportasi umum berbasis tenaga listrik yang tak sekadar ramah lingkungan tapi juga  mengurangi kemacetan.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top