Titik Panas Penyebab Karhutla Meningkat dalam Dua Dekade

Reading time: 3 menit
Karhutla
Ilustrasi kebakaran hutan dan lahan. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia masih terjadi dalam dua dekade terakhir. Titik panas yang semakin bertambah di berbagai wilayah menjadi penyebab kebakaran terus berulang. Kerugian negara mencapai Rp221 triliun sejak terjadinya kebakaran besar pada 2015. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat dalam lima tahun terakhir luas wilayah yang terbakar di Indonesia mencapai 5,5 juta hektare.

Direktur Yayasan Auriga Nusantara Dedy Sukmara menyebut, keberadaan titik panas (hotspot) menjadi faktor utama kebakaran hutan dan lahan. Sebagian dari titik panas tersebut merupakan lahan gambut. Data Auriga mencatat 10 provinsi yang mengalami kebakaran hutan antara lain Kalimantan Tengah, Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, Papua, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Jambi, dan Sumatera Utara. Tujuh provinsi di antaranya menjadi langganan kebakaran hutan kecuali Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Jambi.

“Hal itu disebabkan karena kebakaran di beberapa titik panas memiliki siklus masing-masing,” ucap Dedy dalam paparan webinar Belajar dari Kebakaran 20 Tahun Terakhir yang diadakan oleh Auriga pada 8 September 2020 lalu.

Baca juga: Teknologi Modifikasi Cuaca Pengaruhi Bencana Banjir

Ia mengatakan tren titik panas meningkat dengan sangat signifikan di Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Jambi pada tahun lalu dibandingkan dua dekade terakhir. Menurut Dedy jika dibandingkan 2015, angkanya tidak jauh berbeda dengan 2019 dan hanya berfokus ke gambut.

“Khususnya di Jambi kenaikan di 2019 sebesar 1.136 persen atau  11 kali lipat hotspot di tanah gambut di Pulau Jambi. Di sisi lain di Sumatera Selatan meningkat 566 persen dari tahun sebelumnya, dan di Riau 367 persen,” ujar Dedy.

Pemantauan yang dilakukan Auriga juga menemukan beberapa titik baru dalam lima tahun terakhir. Kenaikan titik panas terjadi di Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Utara. Sementara di Kalimantan Barat, hotspot mulai meningkat pada pertengahan Mei dan akan menurun pada akhir Oktober. Di Jambi, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah mulai meningkat pada awal Juli. Namun, titik panas di Jambi terlebih dahulu menurun pada akhir September yang kemudian diikuti Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah di akhir Oktober. Di Papua, titik panas meningkat pada awal September dan menurun di akhir Oktober.

Karhutla

Hutan yang teah terbakar. Ilustrasi: shutterstock

“Hal ini perlu menjadi perhatian, tidak saja di wilayah yang memang memiliki potensi atau risiko kebakaran tinggi, tetapi memang dalam lima tahun terakhir ada penambahan episentrum api baru di luar lokasi-lokasi yang selalu berulang kejadian kebakaran,” ujarnya.

Sementara hal yang berbeda disampaikan oleh Kepala Sub Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Radian Bagiyono. Ia mengatakan, dari hasil analisis data titik panas yang dipantau pemerintah sejak 1 Januari hingga 14 September 2019 dan 2020, titik panas level confidence menurun sebesar 90 persen.

“Melalui pemantauan satelit, luas kebakaran yang terjadi periode 1 Januari-31 Agustus 2020 juga konsisten dengan data hotspot yang menurun 63 persen. Perhitungan kami di tahun ini area terbakar seluas 120.536 hektare, sedangkan tahun lalu pada periode yang sama kebakaran mencapai 328.724 hektare,” ujar Radian pada diskusi media mengenai Upaya Pengendalian Karhutla Ditingkat Tapak, Selasa, (15/09/2020).

Memanfaatkan Masyarakat

Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji mengatakan masyarakat seringkali dianggap sebagai penyebab dalam hal kebakaran hutan, padahal belum tentu demikian. Ia menuturkan perusahaan yang belum membayar ganti rugi ke warga, misalnya, hanya akan melunasi pembayaran jika suatu lahan perkebunan telah siap tanam. Namun, karena ketiadaan alat yang memadai masyarakat membakar lahan untuk  membersihkan ladang.

Menurutnya koordinat kebakaran terjadi di wilayah perkebunan dan perusahaan kehutanan. Data pengenaan sanksi di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa terdapat surat peringatan ke 157 perusahaan, penyegelan 167 perusahaan, dan sanksi administrasi paksaan dari pemerintah terhadap 20 perusahaan. “Ini yang sebetulnya adalah sumber masalah yang harus ditangani. Permasalahan selama ini perusahaan tidak pernah terjamah, tapi yang ditangkap adalah masyarakat,” ujarnya.

Karhutla

Persentase penurunan luas kebakaran hutan dan lahan. Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)

Pembakaran Lahan oleh Masyarakat Bukan Penyebab Utama

Menurut Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan, IPB University, latar belakang pembakaran tidak serta merta karena penyiapan lahan dengan pembakaran. Namun, terjadi karena jual beli lahan, klaim, dan asuransi. Menurutnya pemerintah tidak tegas dan tebang pilih dalam menegakkan hukum, membiarkan terjadinya kebakaran, dan tidak melibatkan masyarakat tapak dalam mengendalikan kebakaran. “Pengendalian kebakaran tidak tidak berbasis pada sains tapi berbasis pada politik,” ucapnya.

Baca juga: Jejak Bahan Bakar Fosil dalam Produk Rumah Tangga

Ia mengatakan salah satu hal yang penting dalam penanganan karhutla adalah dengan solusi yang tepat dan melihat peran yang sesuai. Bambang melihat ketersediaan alat saat upaya penanganan kebakaran di lapangan masih kurang. Hal tersebut, kata dia, perlu menjadi perhatian yang lebih dalam untuk menanggulangi kebakaran hutan dan lahan.

“Pengendalian kebakaran seharusnya berbasis pada sains dalam artian yang sebenarnya, tahapan pengendalian karhutla yang tepat, melibatkan masyarakat sebagai partner bukan sparring partner, serta pengendalian hukum yang sejatinya memang dilakukan untuk menimbulkan efek jera,” ucap Bambang.

Penulis: Maria Soterini dan Dewi Purningsih

Editor: Devi Anggar Oktaviani

Top