Implementasi COP di Daerah Masih Menemui Kendala

Reading time: 2 menit
implementasi cop
Foto: UNClimateChange/flickr.com

Jakarta (Greeners) – Pasca ratifikasi Perjanjian Paris (Paris Agreement) menjadi Undang-Undang disahkan, Indonesia sudah harus mulai menempatkan program adaptasi dan mitigasi khususnya di daerah sebagai program dengan perhatian yang sangat serius. Namun sayangnya, masih sedikit provinsi yang benar-benar paham pentingnya implementasi adaptasi dan mitigasi tersebut.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengakui bahwa pekerjaan rumah yang cukup berat dan harus dilakukan pada tahun 2017 adalah implementasi pengendalian perubahan iklim (PPI). Apalagi, katanya, implementasi tersebut tidak akan bisa berjalan jika Pemerintah Daerah tidak berkomitmen. Diperlukan perhatian serius dari Pemerintah Daerah agar implementasi PPI bisa berjalan sesuai target.

“Memang implementasi COP ini masih sulit di daerah. Apalagi perubahan iklim ini menyangkut gaya hidup. Tidak semua daerah paham betul tentang itu. Tapi kita sudah melakukan pemetaan terhadap provinsi mana saja yang memang sudah advance (paham betul) soal isu perubahan iklim ini. Mereka itu yang nanti kita dorong untuk menjadi contoh,” katanya kepada Greeners, Jakarta, Jumat (06/12).

BACA JUGA: Setelah Ratifikasi, Implementasi Perjanjian Paris Jadi Pekerjaan Rumah Selanjutnya

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nur Masripatin mengatakan, sesuai dengan pembahasan COP (Conference of the Parties) 22 di Maroko yang pembahasannya lebih mengarah ke implementasi Paris Agreement, Pemerintah Daerah memang sudah harus memasukkan elemen-elemen mitigasi adaptasi perubahan iklim dalam rencana pembangunan daerahnya. Adaptasi ini, terangnya, tidak lepas dari program pengurangan risiko bencana.

“Daerah harus mulai serius menjalankan program adaptasi ini. Kalau tidak, kita tidak akan bisa menjalankan komitmen penurunan emisi Indonesia. Terlebih, adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana tidak dapat lagi dilihat sebagai dua hal terpisah,” terangnya.

Integrasi dua hal tersebut, katanya, sangat krusial dan harus menjadi urusan bersama untuk membangun ketangguhan. Di saat yang bersamaan juga penting untuk menjaga kualitas lingkungan, serta menjaga kualitas dan kapasitas sosial ekonomi.

BACA JUGA: Ratifikasi Perjanjian Paris Diminta Sejalan dengan Komitmen Penurunan Emisi

Nur Masripatin juga menyatakan bahwa diskusi dan perjanjian internasional tidak akan banyak berarti tanpa adanya aksi nyata di tapak lokal. Untuk itu, daerah sebagai stakeholder yang banyak merasakan risiko perubahan iklim sudah harus mulai sadar pentingnya adaptasi dan mitigasi ini.

Di sisi lain, Budi Sulistyono, yang juga Perwakilan Apkasi (Asosiasi Pemerintah Kabupaten seluruh Indonesia), mengatakan bahwa saat ini seluruh pemimpin daerah memang masih belum serentak dalam menjalankan program mitigasi adaptasi, khususnya penanggulangan bencana yang juga menjadi bagian dari program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

“Apalagi sekarang ada rivalitas di daerah dalam menarik investor ke wilayahnya sehingga kadang-kadang investor minta apa saja diberi, bahkan sampai menggusur ruang terbuka hijau. Padahal tata ruang ini harus konsekuen. Sekarang kan enggak, investor minta apa saja dikasih,” katanya.

Penulis: Danny Kosasih

Top