PESK Bebas Merkuri Ditargetkan Tuntas 100 % di Tahun 2025

Reading time: 3 menit
Target bebas merkuri di sektor penambangan emas skala kecil tahun 2025 harus pemerintah kebut. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendorong pemerintah daerah untuk melakukan pengurangan dan penghapusan merkuri pada pertambangan emas skala kecil (PESK). Target Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN PPM) bidang PESK dipastikan tuntas 100 % pada tahun 2025.

Direktur Jendral Pengelolaan Sampah Limbah Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, upaya tersebut mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 21 Tahun 2019 Tentang RAN PPM. Vivien menyatakan, untuk mengejar target itu, pemerintah mendorong pemda membuat rencana aksi pengurangan dan penghapusan merkuri level provinsi dan kabupaten kota. Pasalnya, pemerintah daerah merupakan pihak yang mengerti kondisi di lapangan.

“Progresnya sejauh ini kurang lebih ada lima atau kabupaten kota yang telah merancang aksi daerah. Lalu ada Provinsi NTB yang telah melaksanakan RAD tersebut,” katanya dalam diskusi virtual PESK Bebas Merkuri di Jakarta, Selasa (8/2).

Vivien menambahkan, PESK masih cukup marak ada di Indonesia. Parahnya, sambung Vivien penambangan emas ini dilakukan secara ilegal sehingga di luar pengawasan pemerintah. Penambang memanfaatkan merkuri sehingga mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. “Jadi mereka membuka lahan untuk penambang hingga membuang sisa pengolahan begitu saja. Padahal bahan kimia, termasuk merkuri di dalamnya itu bisa mencemari sungai, tanah, sawah,” paparnya.

Pemerintah, dalam hal ini KLHK bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang kini melebur ke dalam Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) telah membangun teknologi pengolah emas tanpa merkuri. “Ada beberapa tempat yang sudah kami berikan solusi dengan menambang tanpa merkuri, dan teknologinya yang telah dibuat BPPT, sekarang BRIN. Salah satunya di Lebak,” ucap Vivien.

Pelatihan Teknologi untuk Wujudkan PESK Bebas Merkuri

Vivien menegaskan, akan terus melakukan pendampingan khususnya pada para penambang yang telah memiliki izin pertambangan rakyat (IPR) untuk memastikan pemberian pelatihan teknologi ini. Selain Lebak, beberapa kawasan yang telah membangun fasilitas ini, yaitu Kabupaten Lombok Barat di NTB, Luwu di Sulawesi Selatan, Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah dan Halmahera Selatan di Maluku Utara.

Kepala OR Pengkajian dan Penerapan Teknologi BRIN Dadan Moh Nurjaman menyebut, saat ini tercatat sebanyak 850 titik pertambangan emas di seluruh Indonesia yang tersebar di 197 kabupaten. Adapun untuk estimasi produksi PESK kurang lebih mencapai 21,84 ton. Sementara emisi karbon yang PESK hasilkan mencapai 345,5 ton.

“Saat proses pembakaran, gas merkuri dan uapnya dan dapat menyebar ke beberapa kilometer sekitarnya. Dan itu berdampak langsung,” kata Dadan.

Ia menyatakan, dengan teknologi ini, pengolahan emas sangat bisa lebih ramah lingkungan dan bertanggung jawab tanpa menggunakan merkuri. Tak hanya itu, Dadan juga menyebut, teknologi yang menggunakan sianida sebagai pelarut emas ini mampu memberikan hasil emas lebih banyak dibanding merkuri.

“Kalau menggunakan merkuri di bawah 50 %. Berbeda halnya dengan sianida yang mencakup hingga 91 %,” imbuhnya.

Dadan memastikan, pemanfaatan sianida sebagai pengganti merkuri tak akan membahayakan lingkungan karena ada pengolahan terlebih dahulu. Hasilnya sianida bebas menjadi sianat yang lebih ramah lingkungan memenuhi baku mutu.

“Kita sudah menemukan kurang lebih empat jam bisa mendistruksi dari 200 ppm sianida menjadi 5 ppm bahkan sampai memenuhi baku mutu, yakni 0.5 ppm,” ucapnya.

Pentingnya Legalitas IPR

Sementara itu Plt Direktur Teknik dan Lingkungan Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Muhammad Wafid menegaskan, pentingnya legalitas melalui IPR pada para penambang.

Pasalnya, penambang yang telah memiliki IPR bertanggungjawab untuk dapat memastikan good mining practice yang lebih ramah lingkungan dan kesehatan. Ia menekankan pada para Penambang Tanpa Izin (PETI) untuk segera beralih menjadi penambang rakyat (yang telah berizin memiliki IPR).

“Penambang rakyat memiliki izin resmi dari pemerintah dan mereka berkewajiban mengelola keselamatan dan lingkungan. Kalau tak berizin tentu tak memperdulikan hal itu,” tegasnya.

Dari hasil identifikasi terdapat sebanyak 2.741 praktek PETI, dengan 2.645 titik lokasi PETI komoditas mineral.

Pencemaran lingkungan adalah dampak nyata dari aktivitas penambangan emas skala kecil bermerkuri. Foto: Shutterstock

Konvensi Minamata Perkuat Komitmen Penanganan Merkuri

Baru-baru ini Indonesia terpilih menjadi tuan rumah sidang The Fourth Meeting of the Conference of Parties (COP-4) Konvensi Minamata. Hal ini merupakan wujud pengakuan dunia Internasional terhadap pencapaian Indonesia dalam pengurangan dan penghapusan merkuri. Acara Konvensi Minamata akan melibatkan 137 negara dan melakukan pertemuan fisik di Bali pada 21-28 Maret 2022.

Vivien Ratnawati yang juga terpilih sebagai sebagai Presiden COP-4 menyatakan, bahaya merkuri mengingatkan pada peristiwa keracunan di teluk Minamata, Jepang pada tahun 1950. Pada tahun 2013, akhirnya ada kesepakatan perjanjian internasional Minamata Convention on Mercury, hingga mulai berlaku pada 2017. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Minamata melalui Undang-undang No 11 Tahun 2017 Tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury.

“Karena kita tahu peristiwa Minamata yang ada di Jepang menimbulkan kesehatan manusia dan pencemaran di Jepang terganggu. Itu memberikan pengalaman pada kita,” imbuhnya.

Vivien juga mengungkapkan kesiapan Indonesia dalam agenda tersebut dengan memastikan tetap berlangsungnya pertemuan fisik dengan sistem bubble di tengah pandemi Covid-19. “Karena kami memandang bahwa persoalan merkuri ini harus diselesaikan dan harus tetap bekerja dengan prokes yang ketat,” tandasnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top