Ratifikasi Perjanjian Paris Diminta Sejalan dengan Komitmen Penurunan Emisi

Reading time: 2 menit
ratifikasi perjanjian paris
Ilustrasi: pixabay.com

Jakarta (Greeners) – Pengesahan ratifikasi Perjanjian Paris menjadi Undang-Undang melalui Rapat Paripurna DPR akan menjadi manifestasi dari tanggung jawab politik negara untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang telah dialami oleh jutaan warga negara, khususnya bagi kelompok rentan seperti nelayan tradisional, petani, hingga masyarakat adat yang menggantungkan sumber kehidupannya pada pengelolaan kekayaan alam.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai bahwa ratifikasi ini juga menjadi penting dan mendesak mengingat Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan karena memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia dan juga negara kepulauan dengan jumlah belasan ribu pulau-pulau kecil.

Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan WALHI, mengatakan, ratifikasi ini merupakan langkah positif dari negara dan wujud pemenuhan tanggung jawab negara terhadap warga negara sebagaimana amanat konstitusi.

BACA JUGA: DPR Sahkan Perjanjian Paris Menjadi Undang-Undang

Ratifikasi ini juga, lanjut Khalisah, jauh lebih penting maknanya terhadap kondisi di dalam negeri dibandingkan ke internasional. Melalui ratifikasi ini, lanjutnya, maka negara memiliki tanggung jawab untuk memenuhi komitmen tersebut, bagaimana menurunkan emisi 29 persen di tahun 2030 serta memastikan adanya kebijakan adaptasi yang bisa mencegah terjadinya bencana ekologis.

“Namun pengesahan Paris Agreement menjadi UU harus dibarengi dengan kebijakan nasional yang sejalan dengan komitmen negara menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Negara harus menunjukkan komitmen-komitmen tersebut dengan rencana-rencana pembangunan yang rendah emisi dan berpihak kepada lingkungan hidup dan keselamatan rakyat,” jelasnya, Jakarta, Jumat (21/10).

Komitmen tersebut, lanjutnya, antara lain di sektor energi, dengan menghapuskan secara bertahap penggunaan energi fosil seperti batubara dan beralih ke energi terbarukan dengan prinsip terdesentralisasi, dapat diakses oleh rakyat dan bagi kepentingan rakyat.

Ratifikasi ini juga harus dibarengi dengan penghentian ekspansi perkebunan monokultur seperti sawit dan hutan tanaman industri yang mengakibatkan deforestasi dan kebakaran hutan karena menyumbangkan emisi GRK yang sangat tinggi.

Khalisah juga menyatakan bahwa ratifikasi ini menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk melakukan pembenahan tata kelola sumber daya alam yang selama ini berupaya dilakukan melalui moratorium. Ia berharap moratorium berbasis capaian dengan mereview perizinan lama dan tidak lagi memberikan izin baru, menjadi sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh pemerintah.

“Komitmen Presiden untuk moratorium sawit juga harus segera diputuskan, dan rancangan RUU Perkelapasawitan menjadi tidak layak untuk dilanjutkan,” imbuhnya.

BACA JUGA: Indonesia Bawa Tiga Misi Penting Pada COP 22 Marakesh Mendatang

Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Ratifikasi Perjanjian Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Perubahan Iklim menjadi Undang-undang. Pengesahan ini dilakukan pada Rapat Paripurna DPR pada Rabu (19/10) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengapresiasi dan berterimakasih karena akhirnya Ratifikasi perjanjian Paris telah menjadi Undang-Undang. Untuk implementasi UU ini, ia mengaku tidak khawatir karena Indonesia mendapatkan banyak dukungan dari pihak internasional.

“Kalau implementasinya saya tidak khawatir. Pertama, dukungan internasionalnya juga bagus. Saya merasakan betul bahwa dukungan internasional itu sangat baik. Tetapi yang paling penting sebetulnya adalah kerja sistematis dari Indonesia sendiri dan kesiapan masyarakat untuk berubah. Nah, disitulah sosialisasi juga harus terus-menerus dilakukan,” katanya.

Penulis: Danny Kosasih

Top