Setelah Ratifikasi, Implementasi Perjanjian Paris Jadi Pekerjaan Rumah Selanjutnya

Reading time: 2 menit
perjanjian paris
Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Ratifikasi Perjanjian Paris (Paris Agreement) merupakan langkah penting untuk menunjukkan komitmen Indonesia terhadap rakyatnya karena Indonesia termasuk negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Namun hingga saat ini Indonesia dinilai masih belum terlihat kesiapannya untuk menghadapi masalah tersebut.

Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati mengatakan, setelah Perjanjian Paris diratifikasi, pekerjaan berat selanjutnya adalah bagaimana pemerintah mengimplementasikan dan mengawal implementasi tersebut agar memenuhi janji-janji yang tertuang di dalam Perjanjian Paris.

Penurunan emisi gas rumah kaca yang signifikan dari sektor energi dan kehutanan, katanya, mutlak diperlukan jika Indonesia ingin memberikan kontribusi yang bermakna. Untuk sektor kehutanan misalnya, penegakan hukum terhadap perusahaan penyebab dan penyumbang emisi harus dievaluasi lagi perizinannya.

“Sedangkan untuk sektor energi, penurunan emisi harus dilakukan dengan mulai mengurangi pemakaian energi fosil dan serius memanfaatkan energi terbarukan,” katanya saat memberikan paparan dalam media briefing menjelang pelaksanaan Conference of Parties (COP) ke 22, Jakarta, Kamis (03/11).

BACA JUGA: Ratifikasi Perjanjian Paris Diminta Sejalan dengan Komitmen Penurunan Emisi

Selain itu Nur Hidayati menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga harus mulai mempertimbangkan untuk membuat payung hukum khusus untuk pengelolaan energi terbarukan agar pemanfaatannya bisa menjadi lebih besar.

Ia juga meminta agar ada perubahan sistem energi di Indonesia. Pasalnya, saat ini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) masih terpusat dan melakukan transisi jarak jauh. Padahal Indonesia sebagai negara kepulauan lebih cocok menggunakan sistem desentralisasi.

“Ini mengapa harus ada perubahan sistem energi di Indonesia. Kita bisa minta DPR mendorong regulasi yang mendukung, misalnya pemanfaatan energi terbarukan. UU EBTK itu kan tidak ada, padahal UU energi lain ada. Harusnya ada juga UU energi terbarukan yang mengatur pemanfaatan lebih besar,” tambahnya.

BACA JUGA: DPR Sahkan Perjanjian Paris Menjadi Undang-Undang

Dari sektor kehutanan, Emmy Primadona, Program Manager Komunitas Konservasi Indonesia Warsi mengatakan bahwa efektifitas pengelolaan hutan akan jauh lebih tepat sasaran jika melibatkan masyarakat dengan pola mekanisme pembangunan desa. Apalagi, lanjutnya, Presiden Joko Widodo telah menyatakan bahwa perhutanan sosial akan diperluas dengan meneruskan program-program lanjutan untuk memperkuat kemampuan warga di sekitar kawasan hutan.

“Peran masyarakat adat di sini menjadi penting karena mereka adalah pemangku kepentingan yang vital. Kearifan lokal yang ada pada masyarakat adat membuat mereka lebih paham bagaimana mengelola hutan dibandingkan pemerintah,” jelas Emmy.

Menurut Direktur Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Emma Rachmawati, untuk mencapai target penurunan emisi, pemerintah memang sudah menyiapkan berbagai instrumennya. Hanya saja, ia mengakui untuk implementasi akan menjadi pekerja rumah yang cukup berat.

“Diperlukan adanya dukungan dari semua pihak agar poin-poin yang ada dalam Nationally Determined Contribution (NDC) agar dapat berjalan dengan baik,” katanya.

Penulis: Danny Kosasih

Top