Jelang Hari Primata, Profauna Kampanyekan ‘Jangan Beli Primata’

Reading time: 2 menit
hari primata
Foto: pixabay.com

Malang (Greeners) – Organisasi Protection Forest and Fauna (Profauna) Indonesia menggelar kampanye bertajuk ‘Jangan Beli Primata’ kepada masyarakat Indonesia. Kampanye ini merupakan bagian dari peringatan Hari Primata yang diperingati pada 30 Januari mendatang.

Juru kampanye Profauna, Swasti Prawidya Mukti, mengajak seluruh masyarakat untuk bersama-sama beraksi meningkatkan kepedulian terhadap kelestarian primata Indonesia. Sebab, Indonesia yang juga merupakan negara tropis mempunyai keanekaragaman jenis primata yang tinggi.

“Di seluruh kepulauan nusantara, kita dapat menjumpai lebih dari 40 jenis primata mulai dari kera besar seperti Orangutan Sumatera hingga salah satu primata terkecil di dunia yaitu Tarsius,” kata Swasti, Selasa (17/1/2017).

Sayangnya dengan kekayaan tersebut, kata Asti, lebih dari 80 persen primata di Indonesia berada dalam kondisi terancam punah. Bahkan, dalam daftar “25 Primata Paling Terancam Punah di Dunia Periode 2014-2016” Indonesia mempunyai 3 wakil yaitu Tarsius Siau, Simakobu, dan Orangutan Sumatera. Karenanya, penting sekali bagi semua pihak untuk melindungi kekayaan hayati negeri sendiri.

BACA JUGA: Hukuman Ringan, Angka Perdagangan Satwa Liar Terus Meningkat

Beberapa faktor yang menyebabkan primata-primata ini terancam punah antara lain karena kerusakan habitat akibat alih fungsi lahan, perburuan, dan perdagangan. Menurut Asti, semua faktor tersebut saling berkaitan satu dengan lain. Namun, masalah yang tak kalah penting saat ini adalah masih banyaknya perdagangan satwa jenis primata yang dijadikan hewan peliharaan dan koleksi.

“Adanya pembeli membuat bermunculan pedagang satwa. Jika permintaan pasar terus mengalir, maka pedagang akan terus berusaha menjaga stok mereka dengan cara mengepul primata dari para pemburu yang menangkap langsung di alam. Ini yang harus dihentikan,” kata Asti.

Menurutnya, lingkaran setan ini akan terus berputar selama masih ada orang yang membeli primata. Ironisnya, banyak dari kolektor primata tidak menyadari bahwa di balik kesenangan mereka itu terdapat kekejaman luar biasa. Primata secara fisik dan perilaku mempunyai banyak kemiripan dengan manusia, dan para kolektor lebih suka membeli primata yang masih kecil karena lebih mudah dijinakkan atau dilatih.

BACA JUGA: Kondisi Keanekaragaman Hayati Indonesia Memburuk

Induk primata biasanya akan menggendong anaknya yang masih kecil kemanapun ia pergi. Saat nyawanya terancam, ia rela mati tertembus peluru demi melindungi anaknya. Sehingga, untuk setiap ekor anakan primata yang diperdagangkan hampir pasti ada seekor induk yang mati sia-sia.

Untuk itu, Profauna mengajak masyarakat untuk menyuarakan kepedulian dan menularkan virus ‘aksi nyata’ untuk perlindungan primata kepada anggota masyarakat lainnya. “Tahun 2016 lalu ada 60 event Hari Primata Indonesia yang tersebar di 30 kota di seluruh Indonesia, tahun ini harapannya lebih banyak yang terlibat,” ujar Asti.

Tingginya angka perdagangan satwa ini juga bisa dilihat dari banyaknya jumlah primata berupa lutung jawa yang berada di pusat rehabilitasi lutung jawa atau Javan Langur Center (JLC) di kawasan Coban Talun, Kota Batu, Jawa Timur.

Manager Project JLC Iwan Kurniawan menyebutkan, dari 75 ekor lutung jawa di tempatnya, per Desember 2016, sebanyak 25 persen atau 19 ekor berasal dari hasil operasi perdagangan satwa liar. Sebanyak 44 persen atau 33 ekor penyerahan dari masyarakat yang sebelumnya memelihara hewan ini. “Sedangkan hasil dari translokasi atau repatriasi sebanyak 23 ekor,” kata Iwan.

Sementara itu, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam, Ayu Dewi Utari mengatakan bahwa kesadaran masyarakat terhadap aturan tentang satwa liar dilindungi mulai muncul dengan memilih menyerahkan satwa peliharaannya kepada lembaga negara. “Satwa-satwa yang berasal dari penyerahan masyarakat beberapa di antaranya direhabilitasi dan dilepasliarkan,” kata Ayu.

Penulis: HI/G17

Top