Jakarta (Greeners) – Conferences of the Parties untuk perubahan iklim ke-27 (COP27) di Sharm El-Sheikh, Mesir mulai berlangsung 6 November 2022 hingga 12 hari ke depan. Pemerintah Indonesia didorong menuntut pendanaan negara-negara maju terkait dampak industri, utamanya bagi negara berkembang.
Agenda yang digelar setiap tahun ini bertujuan untuk membatasi peningkatan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius dibanding era industri (1800-1850). Atau setidaknya 2 derajat Celcius. Oleh karena itu, masing-masing negara berkewajiban memastikan Nationally Determine Contribution (NDC).
Tak hanya itu, negara-negara maju dan industri yang selama ini berkontribusi terhadap emisi karbon dunia berkewajiban memberi pendanaan pada negara-negara berkembang.
Ini menyusul dampak buruk kerusakan alam, bencana krisis iklim yang rentan negara berkembang alami, termasuk Indonesia. Pada COP27 kali ini, para juru kampanye berbagai organisasi menuntut komitmen keadilan iklim ini mereka penuhi.
Wakil Presiden (wapres) Republik Indonesia K.H. Ma’ruf Amin hadiri pembukaan COP27. Sebanyak 110 negara hadir dalam konferensi ini.
Wapres mengatakan, Indonesia telah menyampaikan enhanced NDC. Di dalamnya memuat peningkatan target penurunan emisi Indonesia menjadi 31,89 % dengan kemampuan sendiri, dan 43,20 % dengan dukungan internasional.
“Peningkatan ini selaras dengan perkembangan signifikan kebijakan kami. Antara lain perluasan konservasi dan restorasi alam, penerapan pajak karbon, mencapai Forestry and Other Land Use (FoLU) Net Sink 2030. Kemudian pengembangan ekosistem kendaraan listrik, serta inisiasi program biodiesel B40,” katanya, Minggu (6/11) waktu setempat.
Target Ambisius Indonesia di COP27
Selain itu untuk memastikan pendanaan transisi energi, Indonesia telah meluncurkan Country Platform for Energy Transition Mechanism. Namun demikian, tutur Wapres, semua upaya nasional tersebut perlu dukungan internasional yang jelas. Termasuk penciptaan pasar karbon yang efektif dan berkeadilan, investasi untuk transisi energi, dan pendanaan untuk aksi iklim.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyebut, Indonesia menargetkan lebih ambisius untuk mengejar penurunan NDC.
“Pada kesempatan ini kami menyampaikan komitmen Indonesia yang lebih ambisius. Disertai upaya terbaik dari langkah-langkah mitigasi domestik meningkatkan pencapaian tujuan Perjanjian Paris,” kata Siti di Paviliun Indonesia COP27.
Merespon hal ini, Kepala Divisi Kajian dan Hukum Lingkungan Walhi Dewi Puspa berpendapat, sebagai negara agraris dan kepulauan, Indonesia masuk dalam kategori rentan.
Dalam COP27 ini pemerintah Indonesia harus mendorong dengan skema-skema adaptasi berkeadilan serta menuntut loss and damage bencana iklim masif yang terjadi di Indonesia.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Bappenas pada tahun 2020 hingga 2024, dampak buruk krisis iklim akan bisa menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 544 triliun. “Belum lagi skema-skema pendanaan berbasis utang yang harusnya tidak dibebankan pada kita lagi,” kata Dewi.
Selama ini banyak proyek-proyek mitigasi yang menggunakan skema utang dan dibebankan pemerintah Indonesia. Lebih parahnya lagi, skema-skema tersebut korporasi manfaatkan tapi bebannya jadi tanggung jawab rakyat Indonesia.
Pertanyakan Basis Penurunan Emisi
Dewi juga mempertanyakan langkah pemerintah Indonesia yang lebih ambisius dengan menaikkan target NDC. Padahal di satu sisi target sebelumnya, yakni 29 % belum terevaluasi.
Padahal lanjutnya, masih banyak proyek-proyek kebijakan yang masih membuka lebar pelepasan emisi karbon. Mulai dari agenda food estate yang membuka kawasan hutan.
“Berdasarkan catatan kami terdapat 3,2 juta hektare kawasan hutan yang beralih fungsi menjadi food estate, yakni di Sumatra Utara, Kalimantan Tengah dan Papua,” ungkapnya.
Kemudian masih ada 4,59 juta hektare tutupan lahan hutan yang sektor pertambangan miliki. Sebanyak 1,9 juta hektare jadi lahan tambang batubara. Selanjutnya, emas, nikel, bijih pasir besi, bauksit dan tembaga.
Ketua Pusat Kebijakan Keenergian Institut Teknologi Bandung Retno Gumilang Dewi menyatakan, tantangan Indonesia justru bagaimana setelah tahun 2030 untuk menurunkan emisi hingga nol persen di tahun 2060.
Termasuk pemanfaatan teknologi energi yang membutuhkan dana tak sedikit. “Kalau bertumpu kepada teknologi impor apa dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Alih-alih ingin terlepas dari ‘middle income trapped’ di tahun 2040, malah berakibat memperlambat pertumbuhan,” kata dia.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin