Kebijakan Cukai Plastik Dianggap Tidak Efektif Atasi Masalah Sampah

Reading time: 3 menit
Dini Trisyanti - Direktur Sustainable Waste Indonesia (SWI). Foto : www.greeners.co/Dewi Purningsih
Dini Trisyanti - Direktur Sustainable Waste Indonesia (SWI). Foto : www.greeners.co/Dewi Purningsih

Jakarta (Greeners) – Kebijakan cukai plastik yang sedang dirancang mendapatkan penolakan dari perusahaan daur ulang sampah plastik. Para pendaur ulang menganggap bahwa pengenaan tarif terhadap kantong kresek ini tidak efektif dalam penanganan masalah sampah di Indonesia. Karena mengakibatkan pengurangan bahan baku untuk di daur ulang bahkan merusak rantai circular economy.

Direktur Sustainable Waste Indonesia (SWI) Dini Trisyanti menyampaikan bahwa kebijakan cukai plastik ini tidak efektif. Menurutnya dalam penanganan sampah akan jauh lebih efektif jika masyarakat membayar sampah setiap minggu atau bulannya lebih tinggi untuk biaya pengelolaan sampah.

“Cukai plastik tidak efektif, yang harusnya diterapkan ialah bayar iuran sampah sejumlah yang kamu buang, itu yang bisa menyelesaikan masalah. Kalau dilihat materialnya saja tidak efektif,” ujar Dini kepada Greeners saat acara di Hotel Pullman, Jakarta, Selasa (03/09/2019).

BACA JUGA : Penerapan Cukai Plastik Akan Menyasar Plastik Kresek

Namun solusi yang diberikan Dini ini diketahui menemui hambatan ketika masyarakat sangat sulit untuk menerima kenaikan harga iuran sampah. Dini pun mengatakan, hal tersebut harus didorong dengan regulasi dari Pemerintah Daerah.

“Jadi Pemdanya harus buat aturan “memaksa” masyarakat lebih mahal bayar iuran sampah, gak usah sekaligus naiknya tapi bertahap. Dan seharusnya sekarang sudah ke arah sana,” ujarnya.

Berdasarkan data analisis yang dibuat oleh SWI pada tahun 2019, konsumsi Kantong Belanja Plastik (KBP) di DKI Jakarta mencapai 350 ton/hari, di mana KBP tersebut tingkat daur ulangnya mencapai 74%. Artinya ada 259 ton sampah kantong belanja plastik per harinya yang didaur ulang menjadi kantong belanja plastik kembali.

Kondisi Penumpukan Sampah Plastik Tercampur

Kondisi Penumpukan Sampah Plastik Tercampur. Foto : shutterstock

“Anggapan kresek kotor tidak mau diambil, itu salah. Kalau di TPA kantong kresek diambilin sama pemulung. Diambil dan dibersihin lagi, karena itu sumber uang. Kresek ini di daur ulang menjadi kresek lagi. Karena data yang kami riset ini dari Ikatan Pemulung Indonesa, jadi valid,” ujar Dini.

Dini juga mengatakan jika kantong belanja plastik atau kresek bukanlah single use karena bisa dipakai berulang kali. Setidaknya minimal dua kali untuk wadah sampah di rumah tangga.

Menanggapi hal diatas, Direktur Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) Tiza Mafira, sebagai NGO yang mendorong adanya kebijakan cukai plastik, mengatakan bahwa data dari DKI jakarta tahun 2018, KBP dalam sehari mencapai 9.8 ton/hari. Sedangkan data yang disampaikan oleh SWI tingkat daur ulang sampah KBP mencapai 259 ton/hari. Ada ketimpangan data yang cukup jauh sehingga perlu dilihat metodologi yang digunakan seperti apa.

BACA JUGA : Rencana Pengenaan Tarif Cukai Plastik Terus Bergulir

Menurut Tiza, jika tingkat daur ulangnya sudah mencapai ratusan ton ada kemungkinan KBP yang diambil pemulung di TPA (yang memang sudah menumpuk bertahun-tahun disitu). Kalau mengambil di TPA, KBPnya sudah tidak bersih dan semakin besar kemungkinan ia didaur ulang menjadi sesuatu yang berkualitas rendah (seperti kresek hitam).

“Kalau memang tingkat daur ulang tinggi, darimana para pendaur ulang ini mendapatkan kantong plastik, karena tidak ditemukan satupun collecting system kantong plastik. Kalau didapatnya dari TPA Bantar Gebang, tidak bisa diasumsikan bahwa ini benar dari Jakarta,” jelas Tiza.

Selain itu, Tiza juga mengatakan visi untuk menjadikan KBP “kantong sampah sehingga masuk ke rantai pengelolaan”, bukan visi yang baik. Seharusnya sampah itu dipilah, yang organik dikomposkan (bukan masuk kantong plastik dan malah bikin kotor kantong plastiknya). Untuk non-organik dikumpulkan, diserahkan kepada bank sampah, atau dimasukkan wadah yang memang diperuntukkan untuk mewadahi sampah non-organik (misalnya ember, kardus, atau karung, atau plastik berukuran besar).

Penulis: Dewi Purningsih

Top