KLHK Bantah Laporan Greenpeace, Kualitas Udara Jakarta Bukan yang Terburuk

Reading time: 3 menit
kualitas udara jakarta
Dirjen PPKL KLHK, Karliansyah (ke dua dari kiri) memberikan keterangan pers terkait laporan Greenpeace Indonesia yang menyatakan Jakarta menjadi kota dengan kualitas udara paling buruk di Asia Tenggara. Keterangan pers dilangsungkan di gedung KLHK, Jakarta, Selasa (12/02/2019). Foto: greeners.co/Dewi Purningsih

Jakarta (Greeners) – Pernyataan Greenpeace Indonesia yang menyebutkan bahwa saat ini Jakarta menjadi kota dengan kualitas udara paling buruk di Asia Tenggara dibantah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Karliansyah menyatakan bahwa kualitas udara di Jakarta masih lebih baik dari beberapa kota di Asia Tenggara dan KLHK menghitung kualitas udara dengan alat dan metode pengukuran yang memenuhi standar.

“Jakarta bukan yang terburuk dalam hal kualitas udara apalagi jika dibandingkan dengan Asia Tenggara. Ada yang lebih buruk yakni Bangkok berdasarkan World Air Quality Report,” kata Karliansyah saat memberikan keterangan pers di Gedung KLHK, Kebon Nanas, Jakarta Timur, Selasa (12/02/2019).

BACA JUGA: Jelang Asian Games, KLHK: Udara Jakarta-Palembang dalam Kondisi Baik 

Karliansyah memaparkan bahwa berdasarkan data yang dihimpun KLHK pada tahun 2018, kualitas udara di kota Jakarta selama 365 hari terdapat 34 hari dengan status Baik, 122 hari dengan status Sedang, dan 193 hari dengan status Tidak Sehat. Sedangkan data Januari hingga Februari 2019 menunjukkan kualitas udara di kota Jakarta dalam status Baik selama 10 hari, status Sedang 38 hari, dan status Tidak Sehat sebanyak 11 hari.

“Greenpeace mengatakan kalau Jakarta kota dengan kualitas udara terburuk di Asia Tenggara, Greenpeace ini menggunakan metode apa? Instrumen apa? Alat ukur apa? Karena kami yakin bahwa Greenpeace juga telah melihat ruangan AQMS (Air Quality Monitoring System) di lantai tiga (KLHK Kebon Nanas) yang merupakan alat ukur kualitas udara KLHK untuk seluruh kota di Indonesia. Kalau pengukuran kualitas udara semua instrumennya itu harus disamakan,” kata Karliansyah.

BACA JUGA: KLHK Sebut Alat Pemantau Kualitas Udara yang Dipakai Greenpeace Tidak Valid 

Sebelumnya, pernyataan Greenpeace Indonesia bertajuk “Jakarta Peringkat Satu di Asia Tenggara untuk Kualitas Udara Terburuk” tercantum dalam situs resmi Greenpeace Indonesia tertanggal 05 Maret 2019. Pernyataan tersebut berdasarkan laporan Kualitas Udara Dunia 2018 Air Visual IQAir dan “Kota-kota Paling Tercemar di Dunia”. Dalam laporan yang disiapkan bekerja sama dengan Greenpeace Asia Tenggara ini mengungkapkan polusi udara di berbagai kota di dunia dengan konsentrasi partikulat atau particulate matter (PM) 2,5.

Hasil laporan tersebut mengungkapkan konsentrasi rata-rata tahunan PM 2,5 pada tahun 2018 di Jakarta sangat buruk, di mana Jakarta Selatan mencapai 42.2 µg/m3 dan Jakarta Pusat mencapai 37.5 µg/m3. Ini berarti konsentrasi PM 2,5 kota Jakarta mencapai empat kali lipat di atas batas aman tahunan menurut standar Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 10 µg/m3 dan bahkan melebihi batas aman tahunan menurut standar nasional pada PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yaitu 15 µg/m3.

Menanggapi data ini, Karliansyah menyatakan bahwa KLHK sudah menggunakan PM 2,5 untuk mengukur kualitas udara di beberapa kota, termasuk kota Jakarta. Alat ukur PM 2,5 ini dipasang sejak tahun 2016 dan mulai dipasang di daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Palembang, Jambi dan Palangkaraya.

“Semua alat yang kita pasang itu sudah menggunakan PM 2,5. Jika dibandingkan standar ambang batas kualitas udara harian Indonesia 65 mikrogram per meter kubik (µg/m3) dan WHO 25 µg/m3 , sedangkan kalau menurut tahunan WHO 10 µg/m3 dan standar nasional Indonesia 15 µg/m3. Jadi menurut data kualitas udara di Jakarta itu 34,57 µg/m3 masih di bawah ambang batas nasional, kita mengacu pada standar harian,” ujarnya.

kualitas udara jakarta

Sumber: Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Direktur Pengendalian Pencemaran Udara KLHK Dasrul Chaniago mengatakan bahwa standar untuk mengukur kualitas udara yaitu ketinggian alat udara dengan jarak dari tanah 2,5 – 3 meter, jarak minimum dari jalan raya 15 meter, dan alat dalam keadaan diam.

“Jadi bukan diajak jalan-jalan alatnya, karena KLHK memakai semua parameter termasuk arah angin. Alat ukur yang kita pakai itu ada standar PM 10, PM 2,5, Hidrokarbon, CO, SO2, NO2, ozon, curah hujan, dan sinar matahari. Keseluruhan data hasil pengukuran alat ini bisa diakses publik secara gratis,” ujarnya.

Di sisi lain, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu mengatakan bahwa KLHK tidak terbuka dengan data yang dihasilkan dari alat ukur yang digunakan. Bondan juga menyatakan bahwa Greenpeace menggunakan alat ukur dari air visual yang berbasis web dan aplikasi yang bisa diakses oleh publik secara gratis.

“Saya pernah minta data konsentrasi ISPU ke DLH Jakarta, tapi tidak dikasih. Saya malah disuruh bayar. Kalau alat yang kami gunakan saat ini datanya bisa diakses dan gratis. KLHK baru memasang Alat ukur PM 2,5 ketika Asian Games, bukan tahun 2016, dan dari hasil data yang disampaikan Pak Karli sama dengan data kami berarti memang benar kualitas udara di Jakarta buruk. Poinnya ada disitu,” ungkap Bondan kepada Greeners melalui pesan singkat.

Penulis: Dewi Purningsih

Top