KLHK: Limbah Medis Tak Boleh Dibuang Langsung Ke TPA

Reading time: 3 menit
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, dan Limbah B3 (PSLB3) KLHK, Rosa Vivien Ratnawati, dalam webinar Pengelolaan Limbah Medis Covid-19, di Jakarta, Selasa, (22/06/2021). Foto: tangkapan layar webinar yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal PSLB3, KLHK.

Jakarta (Greeners) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melarang masyarakat maupun fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) membuang limbah medis ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Limbah medis yang termasuk infeksius tersebut memerlukan penanganan yang baik agar tak berpotensi menularkan virus corona. Terutama bagi tenaga kesehatan, petugas kebersihan, dan masyarakat umum.

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, dan Limbah B3 (PSLB3) KLHK, Rosa Vivien Ratnawati, mengatakan bahwa penanganan limbah infeksius Covid-19 merupakan masalah darurat. Menurutnya, pemusnahan limbah medis infeksius juga harus memenuhi kaidah-kaidah teknis keamanan pelaksanaan.

“Saya juga ingin menyampaikan bahwa limbah medis dilarang dibuang di tempat pembuangan akhir sampah,” ucap Vivien pada acara Webinar Pengelolaan Limbah Medis Covid-19, Selasa, (22/06/2021).

Pada 2020, Institute for Global Environmental Strategies (IGES) melakukan studi di berbagai negara termasuk Jakarta. Lembaga itu mencatat, limbah medis naik sebanyak lima kali lipat menjadi 247 ton per hari.

Limbah medis umumnya berasal dari rumah sakit, pusat karantina atau isolasi mandiri, lokasi vaksinasi, hingga rumah tangga. Pada dasarnya limbah medis merupakan barang atau bahan sisa hasil kegiatan yang tak terpakai kembali. Limbah-limbah tersebut berpotensi terkontaminasi oleh zat yang bersifat infeksius. Misalnya, terjadi kontak dengan pasien maupun petugas fasyankes yang menangani Covid-19.

Menurut World Health Organization (WHO), semua limbah dari perawatan pasien, termasuk yang terkonfirmasi terinfeksi Covid-19 merupakan limbah infeksius. Penanganan limbah tersebut memerlukan upaya yang memadai. Apabila dibuang langsung ke TPA dan tercampur sampah domestik lainnya, akan timbul kontaminasi. Akibatnya, limbah di sekitarnya menjadi berbahaya dan bersifat infeksius.

Ahmad Gunawan Wicaksono, Direktur Verifikasi Pengelolaan Limbah B3, KLHK menyebut, dalam mengelola limbah Covid-19 perlu pendeteksian dan pengeksplorasian sumbernya. “Semakin kita mengerti dengan tepat sumbernya berasal dari mana dan berapa banyak, maka semakin tepat juga pengelolaan yang akan diambil dalam menangani limbah yang bersangkutan,” katanya.

Penanganan Pengelolaan Limbah Medis Infeksius

Fasyankes seperti rumah sakit dapat mengolah limbah B3 secara mandiri apabila memiliki fasilitas insinerator atau autoklaf. Temperatur pembakarannya pun minimal 800 derajat celcius sesuai dengan kebijakan yang ada. Namun, bagi yang tak memiliki fasilitas pengolahan limbah tersebut dapat bekerja sama dengan pihak ketiga untuk mengangkut dan mengolah limbahnya.

Sementara bagi masyarakat, pengangkutan limbah B3 yang berasal dari rumah tinggal sebagai fasilitas isolasi mandiri menjadi tugas dinas lingkungan hidup dan kebersihan. Limbah itu nantinya dibawa ke fasilitas penampungan atau depo dan diserahkan ke pengolah limbah B3.

Apabila di wilayahnya tidak terdapat drop box atau petugas kebersihan khusus, masyarakat dapat menghubungi lurah, camat atau kepala desa. Masyarakat dapat meminta agar dinas lingkungan hidup dan kebersihan mengambil kantung limbah infeksius.

alur pengelolaan limbah medis di rumah tangga

Alur pengelolaan limbah medis di rumah tangga. Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3, Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan.

Adapun jenis-jenis limbah medis yang masuk ke dalam limbah B3 antara lain limbah pengetesan, alat swab bekas, pakaian medis bekas, hazmat bekas, jarum suntik bekas, vial vaksin, masker bekas, infus bekas, rapid test kit, face shield bekas, sarung tangan bekas, sepatu boots bekas, perban, kapas, dan lainnya.

Dalam proses penyimpanan limbah harus menggunakan wadah yang memadai. Misalnya seperti plastik kuning yang tertutup, tidak bocor, kedap udara. Hal terpenting lainnya, limbah yang terkumpul dalam wadah harus memiliki simbol “bio hazard” atau dengan label sampah infeksius.

Pada diskusi yang sama, Mochammad Chaerul, Akademisi Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung menuturkan, hal lain yang harus menjadi perhatian adalah komposisi wadah. Untuk menampung limbah, wadah tidak boleh terisi penuh. “Wadah tidak boleh harus menunggu penuh, tetapi tiga per empatnya harus sudah dipindahkan,” ujarnya.

Penulis: Zahra Safira

Baca juga: Sampah Medis Meningkat Selama Wabah Korona

Baca juga: DLH Jakarta Tangani 1.231 Kilogram Limbah Masker Bekas Warga

Top