KLHK Luput Mendeteksi Perusahaan Pembakar Lahan di Papua dan Maluku

Reading time: 3 menit
perusahaan
Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Beberapa gambar yang diambil melalui citra satelit seperti foto dan video telah mengungkapkan penghancuran besar-besaran di Papua dan Maluku Utara yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit dan kayu bernama Korea-Indonesia (Korindo).

Publikasi citra satelit tersebut merupakan hasil dari laporan investigasi yang baru saja diungkap oleh organisasi-organisasi seperti Mighty (organisasi yang melakukan kampanye lingkungan global), Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke/SKP-KAME (merupakan kelompok kemanusiaan yang berada di Merauke), PUSAKA (organisasi riset dan advokasi untuk mengangkat hak-hak masyarakat adat), Federasi Eropa untuk Transportasi dan Lingkungan (European Federation for Transport and Environment) serta Federasi Korea untuk Gerakan Lingkungan (Federation for Environmental Movements/KFEM).

Sayangnya, titik api yang muncul di lahan konsesi kelapa sawit milik Korindo Grup tersebut tidak terdeteksi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Direktur Jendral Penegakan Hukum Lingkungan KLHK, Rasio Ridho Sani, saat dihubungi oleh Greeners mengatakan bahwa saat melakukan penegakan hukum kebakaran hutan pada tahun 2015, KLHK hanya fokus pada lahan yang terbakar di Sumatera dan Kalimantan, sehingga tidak memperhatikan titik api dan kebakaran di Provinsi Papua maupun Maluku Utara yang menjadi lahan konsesi PT Korindo Grup.

“Tentang lahan konsesi PT Korindo ini kami baru menerima laporannya melalui e-mail dan akan segera mempelajarinya untuk menentukan langkah pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket). Kami akan cek kembali semuanya karena tahun kemarin KLHK hanya fokus pada kebakaran di Sumatera dan Kalimantan khususnya wilayah gambut,” ujarnya, Jakarta, Kamis (01/09).

BACA JUGA: Penegakan Hukum Lingkungan, Pemahaman Aparat Penegak Hukum Masih Rendah

Direktur Mighty Asia Tenggara Bustar Maitar mengatakan bahwa Papua merupakan provinsi terpencil di Indonesia dengan keterbatasan akses terhadap media dan masyarakat madani. Akibatnya, Korindo telah lolos dari pembukaan lahan dan pembakaran yang sistematis demi perkebunan kelapa sawit.

“Hutan hujan telah membentuk kehidupan dan kebudayaan di Papua. Hanya dalam beberapa tahun, Korindo telah menghancurkan hutan yang disebut rumah oleh para leluhur masyarakat Papua, hutan yang memberikan mereka makan, perlindungan, dan air bersih. Untuk ini, Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah untuk menghentikan perusahaan yang mengubah harta karun alami milik Papua menjadi lahan pertanian untuk industri,” tegasnya.

perusahaan

Direktur Mighty Asia Tenggara Bustar Maitar. Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Direktur Pusaka Y. L. Franky menambahkan kalau apa yang dilakukan oleh Korindo Grup telah merampas hak-hak masyarakat adat Papua. Beberapa temuan dari hasil investigasi adalah praktik deforestasi besar-besaran. Korindo telah membabat lebih dari 50.000 hektar hutan tropis dataran rendah di Papua dan Maluku Utara demi kelapa sawit. Luasan ini kira-kira setara dengan luas ibukota Korea Selatan, Seoul. Sejak 2013 saja, lanjut Franky, Korindo telah membabat 30.000 hektar hutan di dua provinsi tersebut dan 12.000 hektar diantaranya adalah hutan primer.

Lalu, api yang muncul di lahan konsesi Korindo, citra satelit, data titik panas, dan foto udara, telah mengarah pada penggunaan api yang sistematis selama proses pembukaan lahan yang dilakukan Korindo yang semuanya merupakan hal ilegal di Indonesia.

Sejak tahun 2013 lalu, titik api selalu muncul di lahan konsesi milik PT Korindo. Untuk tahun 2013 titik api mencapai 43, pada 2014 mencapai 144 titik, dan 2015 mencapai 164 titik. Laporan ini juga menemukan bahwa Korindo merupakan penyumbang signifikan terhadap krisis kabut asap pada 2015 yang menyebabkan penyakit pernapasan terhadap jutaan manusia, kematian bayi, serta menimbulkan kerugian ekonomi sekitar 16 miliar dolar AS bagi Indonesia.

“Jika ingin mengikuti hukum Transboundary Haze Singapura, Korindo bisa dianggap bertanggung jawab dan dapat dijatuhi sanksi denda dan penjara,” tambahnya.

BACA JUGA: Walhi: Pencabutan Sanksi Perusahaan Pelaku Karhutla Kecilkan Penegakan Hukum

Dari sisi bisnis, pembeli utama minyak sawit seperti Wilmar dan Musim Mas telah mengambil langkah dengan menghentikan pembelian dari Korindo. Dua perusahaan besar tersebut melihat bahwa Korindo belum mempublikasikan kebijakan-kebijakan berkelanjutan dan tidak mau mematuhi standar kebijakan No Deforestation, No Peat, No Exploitation (NDPE) yang diadopsi oleh para pembeli minyak sawit terkemuka di dunia.

“Menanggapi tekanan pasar ini, pada 9 Agustus 2016, salah satu anak perusahaan Korindo, PT Tunas Sawa Ema, mengumumkan moratorium pembukaan hutan selama tiga bulan ke depan karena perusahaan itu sedang mengembangkan kebijakan NDPE. Tetapi, Korindo tidak melakukan upaya apapun yang memadai untuk mengakhiri deforestasi dan pelecehan hak atas tanah di seluruh pengoperasian kelapa sawit dan kayu miliknya,” katanya menjelaskan.

Anselmus Amo, Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Merauke, mengatakan, kebun sawit memang tersebar di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Papua, seperti Kabupaten Merauke, Boven Digoel dan Mappi. Belum lagi, pembukaan lahan menghabiskan kayu. Jika tak ada penahan air, banjir bakal melanda Merauke. Pastor Keuskupan Agung Merauke ini berharap, Komisi Pemberantasan Korupsi bisa mengindentifikasi dan memetakan apakah perizinan perusahaan sesuai aturan, rancangan tata ruang wilayah (RTRW) dan menghargai hak-hak warga, misalnya tempat sakral (keramat), maupun dusun sagu. Sawit, katanya, telah melibas tempat penting orang Marind.

Sedang di Boven Digoel, ada 17 perusahaan berpusat di Distrik Jair. Pusatnya, PT Korindo, perusahaan asal Korea memiliki pabrik minyak sawit. Dari buku Atlas Sawit Papua terbitan Yayasan Pusaka 2015, menyebutkan, beberapa anak usaha perusahaan ini, seperti PT. Berkat Cipta Abadi, PT Dongin Prabawa, PT Bio Inti Agrindo, PT Inocin Abadi, PT Agrinusa Persada Mulia.

“Kami mendesak pemerintah untuk menghentikan perusahaan mengembangkan sawit di Merauke dan Boven Digoel,” ucapnya.

Penutup: Danny Kosasih

Top