Jakarta (Greeners) – Setelah isu penolakan Rencana Kerja Usaha (RKU) PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berkembang secara liar di masyarakat, akhirnya KLHK angkat bicara untuk meluruskan isu tersebut. Melalui keterangan resminya, Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan bahwa sikap tegas pemerintah dengan menolak rencana kerja usaha (RKU) PT RAPP, merupakan bagian dari upaya paksa pemerintah untuk melindungi ekosistem gambut Indonesia.
Hal ini sesuai dengan amanat dasar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, dimana seluruh perusahaan HTI berbasis lahan gambut harus menyesuaikan rencana kerja usaha mereka dengan aturan pemerintah. Namun hingga batas waktu yang diberikan, PT RAPP justru tetap memaksa ingin menjalankan rencana kerja sesuai dengan aturan mereka sendiri, dan tidak mau mengikuti aturan yang ditetapkan pemerintah.
“Saya mengajak RAPP menjadi perusahaan yang patuh, taat pada aturan di negara ini sebagaimana perusahaan hutan tanaman industri lainnya, yang RKU mereka telah lebih dulu disahkan dan tidak ada masalah,” jelas Siti, Senin (23/10).
BACA JUGA: PT RAPP Menghentikan Seluruh Kegiatan Operasional
Siti mengatakan bahwa hanya PT RAPP (April Group) satu-satunya perusahaan HTI yang tidak mau menuruti aturan pemerintah. Sementara, 12 perusahaan HTI lainnya saat ini sudah mendapatkan pengesahan RKU mereka dan tidak ada mengeluhkan masalah. Kepatuhan perusahaan-perusahaan HTI berbasis gambut sangat penting, karena selama ini ekosistem gambut mudah terbakar, dan menjadi salah satu penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) selama lebih dari 20 tahun di Indonesia.
Melindungi gambut, lanjutnya, tidak bisa hanya dengan pemadaman rutin saja, namun harus dicegah secara dini dengan melakukan perlindungan gambut secara utuh dan menyeluruh. Ia menegaskan, meski RKU RAPP ditolak, bukan berarti izin dicabut secara keseluruhan. Namun sayangnya, isu yang berkembang di lapangan justru perihal pencabutan izin operasional, dan RAPP dinilai semakin membiarkan isu bergulir liar dengan mengancam akan mem-PHK karyawannya.
“Yang sebenarnya terjadi adalah KLHK memberi perintah dan sanksi agar RAPP tidak melakukan penanaman di areal lindung ekosistem gambut. Namun mereka tetap bisa menanam di areal budidaya gambut. Jadi tidak ada masalah harusnya,” katanya lagi.
Siti pun mendorong PT RAPP untuk segera merevisi RKU mereka sesuai PP gambut, sebagaimana perusahaan HTI lainnya. Sehingga kelak dengan keseriusan perusahaan melindungi gambut, bencana Karhutla yang biasanya rutin terjadi tidak perlu terulang lagi. Generasi saat ini juga bisa mewariskan lingkungan hidup yang lebih sehat bagi generasi yang akan datang.
BACA JUGA: KLHK Terbitkan Peraturan Menteri Terkait Mekanisme Penggantian Lahan Usaha
KLHK, kata Siti, akan memanggil manajemen PT RAPP pada Selasa mendatang. Selain pembahasan revisi RKU, pemanggilan ini sekaligus untuk mengklarifikasi manuver-manuver perusahaan yang dinilai sudah jauh melenceng dari substansi persoalan sesungguhnya.
“RAPP harusnya patuh, ikut menentramkan suasana, dan bukan justru melakukan manuver-manuver memprovokasi rakyat. Karena ini hanya soal kepatuhan dan ketaatan, sehingga tidak seharusnya mengganggu apapun dari operasional perusahaan. Sekjen KLHK juga sudah saya tugaskan memantau situasi di lapangan untuk memastikan semuanya berjalan dengan baik,” tegasnya.
Tidak taat aturan
Sementara itu, Sekretaris Jendral (Sekjen) KLHK Bambang Hendroyono menjelaskan, proses penolakan RKU PT RAPP oleh KLHK, tidak dilakukan hanya dalam hitungan hari, namun dimulai sejak bulan Mei 2017, dan terus berjalan secara marathon. Prosesnya diawali dengan asistensi, sosialisasi dan meminta seluruh perusahaan untuk taat pada regulasi PP gambut. Berikutnya perusahaan-perusahaan mulai mengajukan RKU, dan saat inilah KLHK melakukan pengarahan.
Memasuki fase ini saja, diungkapkan Bambang, PT RAPP sudah memperlihatkan ketidaktaatan. Setiap arahan dari pemerintah selalu dijawab dengan bentuk penyusunan RKU yang tidak sesuai aturan. Sekjen KLHK lantas memanggil Direktur PT RAPP Rudi Fajar, dan memberinya petunjuk agar RKU benar-benar mengikuti aturan. Namun tahap selanjutnya, tetap saja pengajuan RKU RAPP tidak mau mengacu pada PP Gambut. Bahkan pihak perusahaan terang-terangan mengatakan menolak arahan yang disampaikan pemerintah.
“Diantara rentang waktu itu, KLHK sangat aktif mengirimkan surat kepada pimpinan RAPP. Namun saudara Rudi Fajar saat dipanggil mengaku sakit, lalu pada panggilan berikutnya mengaku tengah cuti. Karena tidak ada respon atas surat teguran yang dikirimkan, barulah turun Surat Peringatan II lalu SK pembatalan RKU dan meminta mereka segera memperbaiki RKU sesuai aturan,” jelas Bambang.
Karena yang bermasalah hanya RKU, operasional PT RAPP diakuinya seharusnya tidak bermasalah sehingga tidak benar bahwa operasi harus terhenti sehingga perlu PHK. Pemerintah juga telah menyiapkan berbagai solusi yang terus dikomunikasikan dengan perusahaan.
BACA JUGA: KLHK-BRG Jalin Kerjasama untuk Dukung Restorasi Lahan Gambut
Dalam catatan KLHK, berlakunya PP Gambut tidak akan mengganggu pasokan perusahaan. Bahkan alasan PT RAPP bahwa mereka hanya menerima pasokan dari areal berjarak 100 Km dari lahan perusahaan saat ini, jelas sebuah kebohongan. Karena selama ini PT RAPP tidak hanya menerima pasokan akasia dari konsesi-konsesi HTI di Riau saja. Industri PT RAPP terus menerima pasokan akasia dari Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Per data tanggal 30 September 2017, sudah masuk panen akasia ke pabrik PT RAPP sebesar 8,77 juta m3, berasal dari panen konsesi PT RAPP di Riau dan konsesi suppliers di Riau, Sumut, Sumbar, Kaltara Kaltim dan Kalteng. PT RAPP masih punya sisa stok panen sebesar 5 juta m3 di unit-unit PT. RAPP terutama di estate Pelalawan sebesar 3,4 juta m3; yang seharusnya sudah dipanen.
“Jadi PP tidak melarang untuk panen tapi menanam di kubah gambut itu dilarang. Larangan menanam di kubah gambut bukan larangan Menteri LHK, melainkan amanat dari PP Nomor 57 Tahun 2016. Oleh karena itulah RKU RAPP ditolak, karena mereka tetap ingin melawan aturan dan jelas itu tidak bisa dibenarkan,” tutup Bambang.
Penulis: Danny Kosasih