Jakarta (Greeners) – Belum genap satu tahun menjabat, Presiden Prabowo Subianto telah menunjukkan ambisinya untuk melakukan alih fungsi lahan hutan seluas 20 juta hektare (ha). Hal itu guna memenuhi kebutuhan energi dan pangan. Rencana tersebut mendapat protes keras oleh aliansi masyarakat sipil karena tidak logis dari segi ekonomi dan ekologi.
Berdasarkan data Kementerian Kehutanan tertanggal 5 Desember 2024, peruntukan 20 juta ha salah satunya untuk mencapai swasembada energi. Pemerintah berusaha memangkas ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM) dengan pengembangan bioenergi atau energi hasil dari bahan-bahan organik.
Terkait bioenergi, kebijakan biodiesel sedang didorong untuk pengembangan B40 (campuran 40% biodiesel dengan 60% bahan bakar diesel). Pengembangan biodiesel sendiri sudah menciptakan dinamika ketika minyak sawit harus berbagi peran antara pemenuhan kebutuhan pangan dengan energi (food vs fuel).
BACA JUGA: Alih Fungsi Lahan Perparah Banjir di Jawa Tengah
Menurut Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien, produksi bahan bakar nabati, seperti sawit, jelas perlu memperhatikan daya dukung lingkungan. Riset Satya Bumi dengan lembaga lainnya (2024) menunjukkan nilai batas atas ‘cap’ sawit Indonesia berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (D3TLH) hanya sampai pada angka 18,15 juta ha. Sementara, berdasarkan data MapBiomas 2022, luas perkebunan sawit existing sudah mencapai 17,77 juta ha.
βRencana perluasan 20 juta hektare lahan ini berpotensi menambah luas perkebunan sawit existing hingga lebih dari dua kali lipat dari kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan,” kata Andi lewat keterangan tertulisnya, Senin (20/1).
Ia mengatakan bahwa beban lingkungan ini tentunya akan mengakibatkan kerusakan lingkungan semakin parah. Bahkan, menimbulkan ancaman terhadap keberlangsungan hidup manusia dan biodiversitas.
Lahan Sawit Meluas
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo pun menyebutkan, pembukaan 20 juta ha berpeluang sangat besar terhadap penambahan luasan sawit. Menurutnya, tren alih fungsi lahan pangan semakin mengkhawatirkan, terutama dalam konteks perubahan fungsi lahan dari pertanian menjadi perkebunan sawit.
βKami menemukan fakta pencetakan sawah baru berakhir menjadi perkebunan sawit. Berdasarkan hitungan kami menemukan bahwa alih fungsi lahan pangan menjadi perkebunan sawit di era pemerintahan Jokowi (2015-2024) seluas 698.566 ha atau 69.856,6 ha/tahun. Sumber-sumber lahan pangan tersedia saat ini jelas-jelas terancam eksistensinya dan jika terus terjadi akan mengganggu sistem pangan Indonesia,β kata Surambo.
Ia menjelaskan, kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) merupakan kebijakan pemerintah untuk melindungi lahan pertanian dari konversi. Namun, efektivitas dan implementasi kebijakan ini masih perlu dipertanyakan mengingat masih ditemukannya alih fungsi lahan pangan yang terjadi.
Selain biodiesel, biomassa juga menjadi sumber energi yang paling didorong dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional terbaru, terutama biomassa kayu.
Namun, dorongan paling besar dalam produksi biomassa kayu adalah untuk pasar ekspor. Surambo menyatakan bahwa perluasan izin Hutan Tanaman Energi (HTE) untuk ekspor biomassa berbentuk pelet kayu telah mengakibatkan deforestasi hutan alam. Selain itu, hal ini juga menyebabkan penyingkiran masyarakat adat dari wilayah mereka.
Besarnya Potensi Deforestasi
Riset Trend Asia juga menunjukkan bahwa Indonesia mendorong program biomassa dengan mencampurnya di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) melalui metode co-firing. Selain itu, Indonesia juga mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) di tiap provinsi. Dari program co-firing saja, Indonesia membutuhkan HTE seluas 2,3 juta ha.
Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani menjelaskan, saat ini beberapa izin seperti Malinau Hijau Lestari di Kaltara dan Biomassa Jaya Abadi di Gorontalo terbukti melakukan deforestasi untuk memproduksi pelet kayu dengan menyasar pasar Korea Selatan dan Jepang.
βJadi, kalau rezim ini mau mengalokasikan hutan 20 juta ha untuk kebutuhan pangan dan energi serta mengklaim bahwa tidak akan mengakibatkan deforestasi, itu adalah klaim yang keliru,” terang Amalya.
BACA JUGA: Habitat Gajah Makin Berkurang Akibat Alih Fungsi Lahan
Riset Trend Asia juga menunjukkan bahwa kebutuhan HTE untuk memenuhi kebutuhan nasional 10 juta ton pelet kayu, akan mendorong deforestasi hingga 1 juta ha. Apalagi, permintaan pasar ekspor yang bertambah akan berpotensi membuat deforestasi jauh lebih besar.
Data Kementerian Kehutanan tertanggal 5 Desember 2024 menjelaskan dari mana 20 juta ha akan didapatkan. Sebanyak 15,53 juta ha dari lahan belum berizin dan 5,07 juta ha yang sudah berizin. Lahan yang sudah berizin di dalamnya termasuk perhutanan sosial sekitar 1,9 juta ha. Sementara itu, yang belum berizin mencakup total 15,53 juta ha. Rinciannya adalah 2,29 juta ha hutan lindung dan 13,24 juta ha hutan produksi.
βApabila Raja Juli mengalokasikan 15,53 juta hektare kawasan hutan belum berizin sebagai cadangan untuk pangan dan energi, ini sama dengan rencana untuk mengeluarkan izin-izin baru. Sebelum mencadangkan program-program sebagai kamuflase untuk izin baru, seharusnya Kementerian Kehutanan berbenah, terutama terkait tata batas,β ujar Amalya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia