Koalisi Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Batalkan Relaksasi Ekspor Mineral

Reading time: 2 menit
relaksasi
Foto: pixabay.com

Malang (Greeners) – Koalisi Masyarakat Sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, mendesak Presiden Joko Widodo dan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan untuk membatalkan kebijakan pelonggaran (relaksasi) ekspor pertambangan mineral, baik untuk ekspor bahan mentah (ore material) maupun konsentrat.

Dalam rilis yang diterima redaksi Greeners disebutkan bahwa Presiden Jokowi juga dituntut mencabut kembali Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas PP No.23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Termasuk juga memerintahkan Menteri ESDM untuk mencabut Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.5/2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri dan Permen ESDM No.6/2017 tentang Tata Cara Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian.

PWYP berdalih, ketiga beleid yang diterbitkan pada tanggal 11 Januari 2017 tersebut, memberikan jalan bagi pemerintah untuk memberikan izin ekspor nikel dan bauksit yang belum dimurnikan atau berkadar rendah, yaitu nikel berkadar di bawah 1,7 persen dan bauksit yang telah dilakukan pencucian (keduanya dapat dikategorikan sebagai bahan mentah).

“Beleid ini memberi peluang perubahan status perusahaan tambang dari Kontrak Kerja (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK), tanpa melalui proses yang telah ditetapkan oleh UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Selain itu, beleid ini juga memberikan kelonggaran bagi IUPK untuk melakukan ekspor konsentrat hingga 5 (lima) tahun ke depan,” kata Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Maryati Abdullah, Selasa (17/01/2017).

BACA JUGA: KLHK Atur Konsep Penanggulangan Tambang Rakyat Tanpa Izin

Maryati Abdullah mengatakan, pemerintah telah terang-terangan mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan amanat UU Minerba Pasal 102 dan 103 yang mewajibkan perusahaan minerba untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Sekaligus bertentangan dengan Pasal 170 yang mewajibkan seluruh pemegang KK yang sudah berproduksi untuk melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU Minerba diundangkan pada tahun 2009.

Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi PWYP menambahkan, pemberian relaksasi ekspor konsentrat selama 5 tahun ke depan, menjadikan total 13 (tiga belas) tahun waktu yang diberikan kepada pengusaha tambang untuk membangun industri hilir sejak UU Minerba disahkan.

“Rangkaian relaksasi ini melengkapi daftar inkonsistensi pemerintah terkait kebijakan hilirisasi sejak terbitnya Permen ESDM No. 20 Tahun 2013, Permen ESDM No. 1 Tahun 2014, Permen ESDM No. 5 tahun 2016 sampai dengan terbitnya Permen ESDM terbaru,” kata Aryanto.

Relaksasi Ekspor Picu Kerusakan Alam

Pandangan lain disampaikan Hermawansyah, Direktur Swandiri Institute Kalimantan Barat. Ia mengungkapkan bahwa kebijakan relaksasi ekpsor mineral akan terus meningkatkan laju eksploitasi sumber daya alam, di tengah rendahnya daya dukung lingkungan dan kerawanan konflik sosial dari kegiatan pertambangan yang banyak terjadi di daerah.

Laporan dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) tahun 2016 menyebutkan bahwa kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah telah menurunkan praktik pertambangan ilegal. Sehingga, dengan dibukanya keran ekspor mineral mentah, maka dapat dipastikan memicu keberadaan pertambangan ilegal.

BACA JUGA: 721 Izin Pertambangan Bermasalah Dicabut

Dalam laporan tersebut, yang dimaksud dengan pertambangan ilegal bukan terbatas pada aktivitas yang tidak berizin, melainkan dapat berbentuk perusahaan berizin tetapi berproduksi di atas kuota atau menambang di luar areal yang diizinkan, atau menjalankan praktek pertambangan yang tidak baik.

“Swandiri Institute bersama dengan jaringan Eyes of the Forest (EoF) Kalimantan Barat menemukan bahwa 95persen Izin Usaha Pertambangan (IPU) berstatus Clean and Clear (CnC) yang tumpang tindih dengan kawasan hutan tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Kami tidak bisa membayangkan kerusakan seperti apalagi yang akan menghancurkan bumi Kalimantan Barat,” ujar Hermawansyah.

Penulis: HI/G17

Top