Komite Pendayagunaan Petani: Negara Punya Utang Besar kepada Petani

Reading time: 3 menit
Komite Pendayagunaan Petani: Negara Punya Utang Besar kepada Petani
Dalam webinar memperingati Hari Pangan Sedunia, pegiat Komite Pendayagunaan Petani, menyuarakan pendapatnya tentang negara yang memiliki utang besar kepada petani. Foto: Shutterstock.

Jakarta (Greeners) – Petani memegang peranan penting agar Bumi Pertiwi mewujudkan kedaulatan pangan. Apalagi pada masa pandemi Covid-19. Mengingat rantai pangan global terganggu, pemenuhan pangan di setiap negara memaksimalkan potensi pangan dalam negeri masing-masing. Meski begitu, pemerintah Indonesia belum berupaya serius untuk melindungi petani.

Demikian Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dwi Andreas Santosa  menyampaikan padangannya dalam webinar Hari Pangan Sedunia bertema No Farmers, No Food, No Future,  Jumat (16/10/2020). Prof. Andreas, menyatakan perlindungan pemerintah terhadap petani masih belum terlihat. Keabsenan ini terutama terungkap pada keenganan pemerintah melindungi harga produk pertanian. Di sisi lain, lanjutnya, produk impor masih bersaing sengit dengan petani. Prof. Andreas menilai dibutuhkan intervensi pemerintah melalui penentuan kebijakan tarif produk impor.

“Impor produk pangan kita semakin tinggi. Kalau kebijakan tarif bisa dilakukan, harga produk impor tersebut ketika masuk ke tanah Indonesia bisa setara dengan produk-produk dari petani kita,” ujarnya.

Prof. Andreas lalu mengaitkan kesejahteraan petani dengan disahkannya Undang-undang Cipta Kerja. Menurutnya, dengan UU Cipta Kerja kondisi kesejahteraan petani berpotensi semakin terabaikan. UU Cipta Kerja membuka keran impor sebesar-besarnya, termasuk impor produk pangan. Prof. Andreas menilai, impor yang tidak terkendali niscaya mengakibatkan produk pangan petani Indonesia kalah saing.

“Indonesia hampir seluruh pangan yang diimpor. Tarifnya hampir semua 0 persen atau tidak ada tarif. Hampir semua komoditas akan kalah dan hancurlah petani kita,” tegasnya.

Komite Pendayagunaan Petani Sayangkan Insentif Minimalis dari Pemerintah

Bukan hanya Prof. Andreas yang menyayangkan penelantaran kondisi kesejahteraan petani. Pegiat Komite Pendayagunaan Petani (KPP), Khudori juga menggema hal yang sama. Padahal, Khudori menyebut pertanian skala kecil memiliki potensi sebagai kekuatan ekonomi domestik yang tangguh.

Khudori lantas menyebut pengalamannya sebagai petani saat krisis 1998, 2008, dan pandemi Covid-19 di mana dia menilai petani memiliki peranan dalam ekonomi domestik. Apa boleh buat, lanjutnya, potensi kekuatan petani untuk menggenjot perekonomian nasional lebih banyak disia-siakan.

Komite Pendayagunaan Petani: Negara Punya Utang Besar kepada Petani

Khudori menilai pemilikan tanah petani kian mengecil, pendidikan para petani tetap rendah begitu pula dengan akses petani terhadap sumber daya produktif. Foto: Shutterstock

Baca juga: Hari Mencuci Tangan: Menyorot Urgensi CTPS di Kala Pandemi

Indikator disia-siakannya petani, lanjut Khudori, dapat terlihat dari penguasaan atau pemilikan tanah petani yang kian mengecil. Selain itu, lanjutnya, pendidikan para petani tetap rendah. Begitu pula dengan akses petani terhadap sumber daya produktif seperti bibit, air, pasar, modal, dan teknologi yang masih rendah dari masa ke masa.

Sebagai komite petani, Khudori menilai tunjangan negara untuk petani amat minimal. Kalau pun ada, tunjangan dari pemerintah tidak pernah menjangkau semua petani di Bumi Pertiwi. Di sisi lain, lanjutnya, pemerintah tidak menjamin petani mendapatkan keuntungan dari jerih upayanya. Alih-alih berharap uluran tangan negara, ketika harga panen jatuh, para petani musti berjuang sendiri.

“Sebaliknya, saat baru menikmati sedikit kenaikan harga, konsumen ribut. Pembelaan negara pun bias pada konsumen,” protes Khudori.

Khudori mengontraskan kondisi petani di negara lain yang dia nilai lebih makmur berkat kehadiran negara dalam menjamin kesejahteraan petani. Menurutnya, di negara lain petani dan pertanian dimuliakan, dilindungi, dan tak diserahkan pada mekanisme pasar bebas yang seringkali mematikan petani.

“Petani belum dihargai, insentif yang diterima termasuk insentif harga itu sangat tidak memadai. Negara punya utang besar kepada para petani yang menjamin pangan,” lugasnya.

Baca juga: Hari Pangan Sedunia dan Kerentanan Sistem Pangan Nasional di Masa Pandemi

Petani Perlu Lahan Guna Galangkan Inovasi, Gaet Milenial

Pada kesempatan yang sama, petani dari Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim (PPTPI), Nurkilah menyuarakan kebutuhan petani akan lahan. Menurut Nurkilah, untuk menjadi petani ulung, para petani harus banyak berinovasi di bidang pertanian demi meningkatkan kesejahteraan. Petani yang juga pemilik lahan, lanjutnya, mendapatkan dua manfaat. Mereka bisa produksi produk pangan, sekaligus menggunakan lahan sebagai media berinovasi.

Nurkilah dan para petani lainnya pun mengembangkan Warung Ilmiah Lapangan (WIL) untuk melahirkan inovasi di sektor pertanian. Nurkilah mendirikan WIL salah satunya agar para petani memahami agrometeorologi atau agroekosistem yang mampu mengatasi kerugian petani dari perubahan iklim dan timbulnya serangan hama dan penyakit.

Lebih jauh, Nurkilah menilai inovasi dapat menarik minat generasi milenial untuk terjun ke sektor pertanian. Generasi milenial, lanjut dia, bisa mengikuti pelatihan dan melahirkan teknologi guna meningkatkan mutu pertanian. Dengan demikian, semakin banyak milenial yang tertarik pada bidang pertanian.

“Dari situ bisa diterapkan untuk para generasi muda melalui inovasinya bisa senang dengan kegiatan pertanian. Jadi tidak monoton dengan kegiatan yang seperti sekarang,” tutupnya.

Penulis: Muhammad Ma’rup

Editor: Ixora Devi

Top