MUI Keluarkan Fatwa Perubahan Iklim, Walhi Beri Catatan Penting

Reading time: 3 menit
Walhi memberikan beberapa catatan penting atas fatwa perubahan iklim yang MUI keluarkan. Foto: MUI
Walhi memberikan beberapa catatan penting atas fatwa perubahan iklim yang MUI keluarkan. Foto: MUI

Jakarta (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memberikan beberapa catatan penting atas fatwa perubahan iklim yang MUI keluarkan. Menurut Walhi, ini merupakan fatwa yang pertama di Indonesia, atau mungkin di dunia yang mengulas isu krisis iklim.

“Setelah ini, semoga krisis iklim akan semakin luas dibahas dan dikaji oleh lembaga-lembaga keagamaan yang otoritatif di Indonesia,” ujar Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eknas Walhi, Parid Ridwanuddin.

Adapun catatan pertama Walhi terkait penggunaan istilah “pengendalian perubahan iklim global”. Menurut Walhi, kata “pengendalian” mengandaikan bahwa situasi krisis saat ini suatu kondisi yang mesti terjadi, namun masyarakat diminta untuk mengendalikan situasi itu.

BACA JUGA: Walhi: Industri Pariwisata di Gunungkidul Ancam Kawasan Karst

“Padahal, krisis iklim global saat ini adalah hasil sejarah panjang produksi emisi negara-negara industri serta ratusan perusahaan multinasional, terutama di bidang minyak, gas, batu bara, serta semen. Masyarakat di Indonesia tak punya kemampuan untuk mengendalikan krisis iklim saat ini,” tambah Parid.

Catatan kedua, dalam konsiderans, MUI menyebut krisis iklim berakar pada keterkaitan faktor ekonomi, sosial, politik dan budaya, sistem kepercayaan, sikap dan persepsi sosial. Namun, MUI tidak menyebutkan macam dari faktor-faktor tersebut yang menyebabkan krisis iklim saat ini.

Walhi memberikan beberapa catatan penting atas fatwa perubahan iklim yang MUI keluarkan. Foto: Freepik

Walhi memberikan beberapa catatan penting atas fatwa perubahan iklim yang MUI keluarkan. Foto: Freepik

Walhi Soroti Ajakan Kurangi Karbon

Selanjutnya, Walhi juga menilai perlu menyoroti soal ajakan untuk mengurangi jejak karbon kepada semua pihak. Ajakan yang tercantum dalam ketentuan hukum poin 3 huruf b ini terlihat sangat tidak adil. Sebab, hanya orang-orang yang memiliki kekayaan besarlah yang paling banyak menghasilkan jejak karbon.

“Orang-orang kaya bisa memiliki konsesi sawit dan atau tambang di hutan dan atau laut, dengan luasan yang sangat besar serta masa waktu yang sangat panjang. Soal ketimpangan penguasaan sumber daya alam tidak dilihat dan dirujuk dalam penyusunan fatwa ini. Dengan demikian, fatwa ini tidak mempertimbangkan prinsip Common But Differentiated Responsibilities,” imbuh Parid.

BACA JUGA: Walhi: Tanggul Laut Raksasa Bukan Solusi Tepat Atasi Banjir Rob

Dalam fatwa perubahan iklim, MUI juga mendorong pemerintah untuk mengembangkan ekonomi hijau yang berkeadilan. Terkait hal ini, Walhi telah mengkritik sejumlah paradigma ekonomi yang selama ini berkembang di dunia, di antaranya kritik terhadap ekonomi hijau dan ekonomi biru.

“Walhi melihat, baik ekonomi hijau maupun ekonomi biru sama-sama merupakan bagian dari kapitalisme global. Hal itu mendorong eksploitasi sumber daya alam, baik di darat maupun di laut,” ungkap Parid.

Oleh karena itu, lanjutnya, Walhi menyusun satu konsep ekonomi yang menjadi antitesis terhadap kedua paradigma ekonomi tersebut, yaitu ekonomi nusantara. Dengan demikian, penting untuk mempertanyakan kembali konsep ekonomi hijau secara mendasar.

MUI Keluarkan Fatwa Perubahan Iklim

Sebagai informasi, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 86 Tahun 2023 tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global. Ini merupakan fatwa kelima yang telah MUI keluarkan terkait isu lingkungan hidup dalam satu dekade terakhir.

Sebelumnya, MUI telah mengeluarkan fatwa terkait hukum pembakaran hutan dan lahan serta pengendaliannya, dan fatwa tentang pertambangan ramah lingkungan. Peluncuran fatwa melibatkan Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI, Manka, ECONUSA, Ummah For Earth, dan Komisi Fatwa MUI.

Dalam fatwa tersebut, MUI mengharamkan segala bentuk tindakan yang menyebabkan terjadinya kerusakan alam. Misalnya, deforestasi (penggundulan hutan), pembakaran hutan, dan lahan yang berdampak pada krisis iklim.

“Fatwa ini juga mewajibkan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, mengurangi jejak karbon yang bukan merupakan kebutuhan pokok, serta mengupayakan transisi energi berkeadilan,” kata Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI, Hayu Prabowo.

Hayu menjelaskan, dampak perubahan iklim dan pemanasan global menyebabkan terjadinya cuaca ekstrem. Misalnya, musim kemarau berkepanjangan dan curah hujan serta kenaikan permukaan air laut.

Oleh sebab itu, muncul berbagai pertanyaan dari masyarakat dan pemerhati lingkungan hidup. Khususnya, terkait pentingnya mengurangi emisi gas rumah kaca melalui pengurangan penggunaan energi fosil, pengelolaan hutan tropis, dan pengurangan limbah. Atas dasar itu, MUI mengeluarkan fatwa terkait pengendalian perubahan iklim.

“Dalam proses penyusunan fatwa ini, komisi fatwa bersama lembaga pengusul mengunjungi lapangan untuk mengumpulkan bukti empiris mengenai penyebab dan dampak perubahan iklim di lapangan,” terangnya.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top