Produksi Plastik Kuras Energi dan Tinggalkan Jejak Karbon

Reading time: 2 menit
Kemasan plastik sekali pakai berujung menjadi sampah. Padahal proses pembuatannya meninggalkan jejak karbon. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Tanpa masyarakat sadari, proses pembuatan plastik butuh energi besar yang masih mengandalkan batu bara. Semakin banyak permintaan dan penggunaan plastik, jejak emisi karbon yang ditinggalkan pun semakin besar.

Oleh sebab itu, pemerintah harus serius menangani jejak karbon proses pengolahan plastik sebagai kontributor emisi gas rumah kaca. Penuntasan permasalahan plastik bukan hanya pada bagian hilir berupa pengelolaan sampah plastik. Tapi juga di bagian hulu, mulai proses ekstraksi, manufaktur hingga distribusi produknya.

Dalam dokumen National Determined Contribution (NDC) Paris Agreement, Indonesia telah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 % dengan kemampuan sendiri. Kemudian 41 % dengan bantuan internasional pada tahun 2030.

Senior Project Manager Climateworks Center Jannata Giwangkara menyebut, sektor industri, energi dan transportasi menjadi sektor penyumbang terbesar emisi karbon. Ketiga sektor ini ada dalam proses pengolahan plastik dari hulu hingga pemanfaatannya di hilir.

Misalnya, bahan baku utama plastik yang ada saat ini, sambung dia 99 % berasal dari minyak dan gas bumi (fosil) yang diekstraksi dari perut bumi kemudian ada penyulingan kimiawi. Proses ini nantinya menghasilkan produk turunan minyak mentah dan selanjutnya menjadi bahan pembuatan plastik.

“Dari serangkaian proses produksi itu membutuhkan energi yang besar dan sayangnya masih bergantung pada energi fosil, seperti batu bara,” katanya dalam webinar Kenapa Plastik Berdampak Kepada Iklim Kita? di Jakarta, Rabu (13/4).

Demikian pula ketika produk plastik telah siap untuk terdistribusi ke lokasi supermarket atau toko-toko dengan menggunakan truk berbahan bakar fosil, tetap berkontribusi terhadap peningkatan emisi.

“Sehingga proses-proses inilah dari sebelum produksi sampai kepada kita sebagai pengguna plastik mengkonsumsi banyak sekali bahan bakar fosil, yang akhirnya meningkatkan emisi gas rumah kaca,” paparnya.

Peningkatan Pasokan Plastik dari Tahun 1950 Hingga 2015 Meningkat Signifikan

Berdasarkan data dari salah satu publikasi ilmiah, Nature letter tingkat pertumbuhan tahunan majemuk plastik dari tahun 1950 hingga tahun 2015 mengalami peningkatan signifikan. Jumlahnya mencapai empat kali lipat atau sebesar 8,4 % per tahun. Adapun produksi plastik pada tahun 2015 yaitu mencapai 380 juta ton plastik.

“Bila tak ada upaya keseriusan dalam aksi serta transisi energi terbarukan maka diproyeksikan pada tahun 2050 akan menyumbang sebesar 6,5 giga ton karbon dioksida. Atau setara dengan 4 % emisi GRK di dunia,” imbuh Jannata.

Pemerintah, sambung dia perlu melakukan dekarbonisasi atau mengurangi ketergantungan sumber-sumber energi berbasis karbon di sektor energi. Misalnya dengan mendorong pemanfaatan bahan baku plastik yang ramah lingkungan seperti serat tumbuh-tumbuhan.

Inovasi ini telah negara-negara lain seperti Amerika Serikat lakukan. Proses pengolahan plastik juga hendaknya dengan proses produksi berbasis energi terbarukan.

Hal yang tak kalah penting, kata Jannata yakni memastikan pula pengelolaan sampah plastik pada sektor hilir yang turut menyumbang emisi. Mulai dari membuang sampah ke TPA, memanfaatkan insinerator serta melakukan daur ulang.

“Khusus penggunaan teknologi insinerator harus dihitung lagi emisinya agar tak menimbulkan polusi lalu harus menggunakan teknologi penyaring udara,” ucapnya.

Pembakaran Sampah Berimbas pada Peningkatan Gas Rumah Kaca

Community Manager Bicara Udara Novita Natalia menyatakan, sebuah survei menyebut masih ada 54,64 % rumah tangga masih membakar sampahnya. Padahal dari pembakaran sampah ini berimbas pada peningkatan gas rumah kaca dan mempengaruhi perubahan iklim.

Selain itu, pembakaran sampah juga dapat mengeluarkan PM 2,5 yang berdampak pada kesehatan. “Pembakaran sampah merupakan langkah praktis menghilangkan sampah. Tapi ini berdampak buruk pada pencemaran udara,” kata Novita.

Penting lanjutnya, untuk memberikan edukasi pada masyarakat khususnya sektor rumah tangga agar melakukan pemilahan sampah terlebih dahulu sebelum mengelolanya. Misalnya khusus untuk sampah organik dengan pengomposan. Sedangkan sampah anorganik bisa masyarakat serahkan pada bank sampah untuk dikelola lebih lanjut.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top