Limbah Rumah Sakit di Jakarta Belum Dikelola dengan Baik

Reading time: 3 menit
Ilustrasi: Ist.

Jakarta (Greeners) – Rumah sakit adalah sarana kesehatan yang menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan meliputi pelayanan rawat jalan, rawat inap, pelayanan gawat darurat, pelayanan medik dan non medik. Dalam menjalankan kegiatannya, rumah sakit mampu menghasilkan berbagai macam limbah berupa benda cair, padat dan gas. Termasuk juga limbah berupa virus dan kuman yang berasal dan Laboratorium Virologi dan Mikrobiologi yang sampai saat ini belum ada alat penangkalnya sehingga sulit untuk dideteksi.

Limbah cair dan Iimbah padat yang berasal dan rumah sakit dapat berfungsi sebagai media penyebaran gangguan atau penyakit bagi para petugas, penderita maupun masyarakat. Gangguan tersebut dapat berupa pencemaran air, udara, dan tanah.

Untuk itu, pengelolaan limbah rumah sakit sudah seharusnya menjadi bagian dari kegiatan penyehatan lingkungan di rumah sakit. Pengelolaan limbah ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah rumah sakit.

Menurut survei yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta tentang sistem pengelolaan limbah rumah sakit di beberapa rumah sakit di Jakarta, rata-rata rumah sakit menghasilkan 140 kg sampai dengan 400 kg sampah medik per hari. Sampah medik tersebut kemudian diangkut oleh Pihak Ketiga ke tempat pengolahan akhir.

Pengelolaan limbah bahan berbahaya beracun (B3) medik kepada Pihak ketiga dikaitkan dengan biaya, efesiensi waktu dan efektivitas sumberdaya. Sementara, mengelola limbah sendiri memiliki resiko lain yaitu sisa sampah serta uji emisi dari pembakaran (incinerator) masih harus dipikirkan.

Menurut Direktur Eksekutfif Walhi DKI Jakarta, Puput T. Putra, selama ini prosedur dan persyaratan pengelolaan limbah medik B3 padat dibuang terpisah sesuai dengan ketetapan pemerintah melalui KemenKes Nomor 1204 Tahun 2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.

“Pengelolaan limbah padat B3 sangat penting dipelajari mengingat di lapangan banyak dijumpai limbah padat yang beralih menjadi alat permainan anak-anak atau diolah menjadi barang baru yang masih harus diperiksa lagi kadar racunnya agar tidak berdampak buruk untuk kesehatan masyarakat,” ujarnya kepada Greeners, Jakarta, Rabu (23/02).

Zaenal Muttaqin, Deputi Direktur Walhi DKI Jakarta, menjelaskan, survei yang dilakukan oleh Walhi tersebut dilakukan di 12 Rumah Sakit di wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur, seperti Rumah Sakit Central Medika Depok, Rumah Sakit Siloam, Rumah Sakit Islam Pondok Kopi dan lainya yang dimaksudkan untuk mengecek aliran limbah rumah sakit.

Walhi mengkhawatirkan percampuran limbah medik dan non medik yang kemudian dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Pembuangan limbah medik ke TPA, seperti botol infus dan jarum suntik, bagi pemulung plastik limbah medis ini justru dianggap bisa didaur ulang.

“Limbah infeksius yang terdiri atas ekskreta, spesimen laboratorium bekas balutan, jaringan busuk dan lain-lain. Limbah tajam yang terdiri atas pecahan peralatan gelas seperti termometer, jarum bekas dan alat suntik, limbah plastik, bekas kemasan obat dan barang, cairan infus, spuit sekali pakai/disposable perlak, ini adalah jenis-jenis limbah yang tidak boleh dibuang langsung ke TPA,” tambahnya.

Direktur Operasional PT Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI) Syarif Hidayat berpendapat, untuk pengolahan limbah rumah sakit, teknologi yang paling memungkinkan untuk digunakan adalah dengan cara pembakaran atau insenerasi. Idealnya, kata dia, setiap rumah sakit sudah seharusnya memiliki insenerator. Namun karena sesuatu hal, masih banyak rumah sakit yang belum memilikinya.

“Idealnya dalam segi keamanan, rumah sakit sudah seharusnya punya insenerator sendiri. Itu bisa meminimalisir kebocoran di jalan kalau menggunakan pihak ketiga. Memang masih banyak Rumah Sakit yang belum mengikuti aturannya, tapi ya mau gimana? Teknologi itu kan mahal sekali,” katanya menambahkan.

Namun, pemusnahan sampah dengan membakar, dianggap oleh Puput bukanlah solusi yang tepat, bahkan sangat membahayakan kelangsungan kehidupan. Banyak permasalahan yang ditimbulkan oleh insenerasi sampah dibandingkan manfaat yang dihasilkannya. Secara kasat mata, volume reduksi yang dihasilkan sangat menjanjikan, namun secara tidak kasat mata dan dapat dibuktikan secara kimiawi, hasil insenerasi menimbulkan banyak senyawa kimia sangat beracun.

Hasil emisi yang paling berbahaya pada pembakaran sampah heterogen ialah terbentuknya senyawa dioksin dan furan, sekelompok bahan kimia yang tidak berwarna dan tidak berbau. Dalam molekulnya mengandung atom karbon, hidrogen, oksigen dan klor. Pembakaran mengeluarkan gas metan yang sangat berbahaya dan mempengaruhi kualitas hujan (hujan asam).

Terkait penerapan pengolahan limbah rumah sakit, Direktur Jendral Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya Beracun (B3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tuti Hendrawati Mintarsih mengakui bahwa masih banyak rumah sakit yang belum mengelola sampahnya dengan baik. Ia juga menyatakan bahwa sangat sedikit rumah sakit yang sudah menggunakan teknologi pembakaran sampah atau insenerator.

“Kebanyakan dititip ya. Jadi, limbah rumah sakit itu dititip di rumah sakit besar yang memang sudah memiliki alat pengolahan limbah,” tutupnya.

Sebagai informasi, menurut WHO, beberapa jenis limbah rumah sakit dapat membawa risiko yang lebih besar terhadap kesehatan, yaitu limbah infeksius sebesar 15% sampai dengan 25% dari jumlah limbah rumah sakit. Di antara limbah ini, terdapat limbah benda tajam (sebesar 1%), limbah bagian tubuh (1%), limbah obat-obatan dan kimiawi (3%), serta limbah radioaktif dan racun atau termometer rusak (< 1%).

Penulis: Danny Kosasih

Top