Pegiat Lingkungan Cilik Surati Jokowi Soal Sampah Impor

Reading time: 2 menit
Penggiat lingkungan ini berkirim surat ke Presiden Joko Widodo untuk menekan sampah impor masuk ke Indonesia. Foto: Ecoton

Jakarta (Greeners) – Pegiat lingkungan cilik asal Gresik Aeshnina Azzahra mendesak Pemerintah Indonesia untuk tidak hanya mementingkan pembangunan infrastruktur. Ia mendesak perlunya memerhatikan lingkungan dengan memastikan penanganan kasus ratusan ribu ton sampah impor dari negara maju. Desakan ini Nina sampaikan dengan menyurati Presiden Joko Widodo.

Dalam suratnya, Nina berharap agar pemerintah lebih tegas dalam membuat peraturan pencegahan masuknya sampah impor, peraturan membakar sampah serta pengawasan pembuangan limbah pabrik di sungai.

Ia telah mengamati bahwa air Sungai Brantas, Kali Porong, Kali Surabaya serta Kali Mamoyo telah mengandung mikroplastik. Menurutnya hal ini, menyebabkan ikan-ikan di sungai mengandung mikroplastik sebagaimana tubuh manusia itu sendiri.

“Kami tidak mau menanggung beban pencemaran yang generasi saat ini sebabkan. Kami punya hak hidup di lingkungan yang bersih dan sehat,” katanya dalam keterangan Ecoton, baru-baru ini.

Selain itu, ia masih banyak menemukan industri yang membuang limbah ke sungai. Padahal, air sungai tersebut sebagai bahan baku PDAM, pengairan tambak dan sawah.

Sampah Impor Cemari Lingkungan

Nina mengungkapkan, impor sampah kertas tak masalah asal tak terbebani penyelundupan sampah plastik kotor ke dalam sampah yang negara lain kirim ke Indonesia. Ironisnya, setelah pabrik kertas mengambil sampah kertasnya, sampah plastik impor mereka buang ke desa-desa sekitar pabrik kertas. Beberapa negara eksportir seperti Amerika, Kanada, serta Australia kerap kali menyelundupkan sampah plastik ini.

Salah satu kasus misalnya ada di Desa Bangun, Mojokerto. Sampah plastik impor penduduk desa pilah. Yang masih laku warga jual kembali. Sampah plastik itu mereka jual ke pabrik daur ulang untuk menjadi pelet.

‘’Tapi, proses daur ulang plastik sangatlah kotor. Sampah plastik impor mereka cuci dengan air sungai atau air sumur. Lalu limbahnya mereka buang ke sungai tanpa ada pengolahan limbah cair. Dampaknya, limbah pabrik daur ulang mencemari sungai dan membunuh ikan-ikan di sungai,’’ ungkapnya.

Prihatin dengan kondisi lingkungan yang tercemar, gadis cilik ini rela mengayuh sepeda untuk bersurat ke Presiden. Foto: Ecoton

Reekspor Sampah Bisa Indonesia Lakukan

Menanggapi hal tersebut, Direktur Penanganan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal mengatakan, surat keputusan bersama (SKB) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan dan Kepala Polri, menetapkan impuritas atau pengotor impor limbah non bahan berbahaya dan beracun pada kertas dan plastik sebesar 2 persen. Angka toleransi tersebut juga pemerintah tetapkan berdasarkan rapat terbatas Presiden di Bogor pada Agustus 2019.

Novrizal menyatakan, pemerintah Indonesia tak bisa terlepas dari ketergantungan impor bahan baku scrap kertas dan plastik dari luar negeri. Mengingat dalam negeri tidak bisa memenuhinya sendiri. “Itu memang dibutuhkan. Kalau tidak, industri kertas kita berhenti karena tidak ada bahan baku kertas,” katanya kepada Greeners, Sabtu (12/2).

Menurutnya, Indonesia bisa melakukan reekspor (mengirim sampah kembali ke negara asal). Bagi industri impor yang sengaja memasukkan limbah bahan berbahaya beracun (B3), sanksi pidana minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun serta denda Rp 5-15 miliar menanti.

Sikap tegas ini lanjutnya, menunjukkan bahwa pemerintah serius melawan serbuan sampah impor. “Harusnya kalau ada lokasinya, kita bisa melakukan penegakkan hukum untuk industri pengimpor,” pungkasnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top