Berpotensi Timbulkan Konflik Agraria, Komnas Ham Minta RUU Pertanahan Ditunda

Reading time: 3 menit
Komnas Ham Minta RUU Pertanahan Ditunda
Sandrayati Moniga (Komnas Ham). Foto : greeners.co/Dewi Purningsih

Jakarta (Greeners) – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas dorongan utama Kementerian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional berencana akan mengesahkan RUU Pertanahan pada September 2019 ini. Namun pengesahan tersebut ditolak oleh beberapa aktivis dan NGO, terutama Komnas HAM karena akan menimbulkan banyak konflik agraria yang semakin berkepanjangan.

Menurut catatan Komnas HAM RI, secara berkala dari tahun ke tahun, mereka selalu menerima pengaduan masyarakat yang bersumber pada konflik agraria. Pada tahun 2015 tercatat sebanyak 109 kasus, tahun 2016 sebanyak 223 kasus, dan tahun 2017 sebanyak 269 kasus. Oleh karena itu, sejak awal 2018 salah satu prioritas Komnas HAM adalah penuntasan persoalan konflik agraria.

“Komnas HAM mempertanyakan RUU Pertanahan ini, karena isinya akan banyak menimbulkan konflik agraria, hak sipil, budaya, dan masyarakat adat terutama akan tergusur dari tanahnya, tentunya hal ini mengakibatkan masyarakat adat sulit menjalankan beberapa ritual yang berbasis budaya. Hampir 10-15 tahun terakhir kasus yang paling banyak kami tangani adalah konflik agraria,” ujar Sandrayati Moniaga, Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM pada diskusi media RUU Pertanahan di Komnas HAM, Jakarta, Jumat (06/09/2019).

BACA JUGA : Komisioner Inkuiri Komnas HAM Temukan Banyak Pelanggaran Terhadap Masyarakat Adat

Melihat sejarah RUU Pertanahan, sejak DPR menyampaikan RUU Pertanahan kepada Presiden pada 18 Maret 2016, RUU ini mulai dibahas secara pasang surut. 6 April 2016, Menteri ATR/BPN ditunjuk sebagai koordinator. Lalu pada 20 Mei 2016, Presiden SBY mengeluarkan amanat perihal penunjukan wakil pemerintah.

Pada 18 Juli 2016, DPR RI menyerahkan naskah akademik dan RUU pertanahan kepada pemerintah. 22 Desember 2016, dimulailah Rapat Kerja dengan komisi II DPR RI tentang RUU tentang Pertanahan. 22 Februari 2017 dilakukan Rapat Kerja lanjutan dengan komisi II DPR RI tentang RUU Pertanahan dan rapat-rapat selanjutnya sampai 2019.

Diskusi Media RUU Pertanahan di Komnas HAM, di Jakarta. Foto : greeners.co/Dewi Purningsih

Sandra mengatakan, RUU Pertanahan ini secara muatan materi (norma-norma) yang diatur ternyata bukan bersifat melengkapi UUPA dan sejalan dengan UUD 1945 serta TAP MPR No.IX/2001. Akan tetapi bertentangan dengan semangat dan mandat yang terkandung di dalamnya.

Dalam prespektif HAM beberapa hal yang bersinggungan diantaranya adalah: Pertama, pengabaian terhadap asas kemanusiaan yang menekankan pada pentingnya upaya perlindungan, pemenuhan dan penghormataan hak asasi manusia dalam pembentukan RUU Pertanahan.

Kedua, program reforma agraria diprioritaskan pada penataan aset dan akses dalam penguasaan, kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan (Pasal 1 angka 12), dengan menempatkan proses penyelesaian sengketa sebagaimana kondisi faktual yang terjadi saat ini sebagai pelengkap semata.

BACA JUGA : Konflik Sumber Daya Alam Paling Tinggi Diadukan ke Komnas HAM

Ketiga, impunitas terhadap korporasi (pemegang hak) yang menguasai lahan secara fisik melebihi luasan haknya (Pasal 25 ayat 8), padahal dari 2,7 juta Ha lahan yang berkonflik karena konsesi ini sebagian besar adalah tanah yang merupakan wilayah hidup masyarakat (rakyat) dan sebagian perusahaan yang diproses oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Keempat, penerapan asas kepastian hukum yang tidak proporsional oleh Lembaga Penjamin (Pasal 56), sebab proteksi hak kepemilikan (property rights) hanya dilakukan sebatas yang memiliki sertifikat. Padahal, secara faktual tanah-tanah rakyat (termasuk masyarakat adat) banyak yang tidak memiliki sertifikat dan apabila telah terlanjur diterbitkan sertifikat oleh lembaga pertanahan (BPN) tanpa adanya persetujuan (FPIC) tidak ada mekanisme peninjauan sebagaimana dalam perundang-undangan sebelumnya.

“Oleh karena itu, kami meminta Presiden melalui Kementerian terkait dan DPR RI cq. Komisi II DPR RI untuk menunda pengesahan RUU Pertanahan, hal itu dilakukan semata-mata untuk kembali mendiskusikan muatan materi yang diatur agar selaras dengan konstitusi, TAP MPR Nomor IX/MPR/2011 dan UUPA, serta memastikan upaya perlindungan, pemenuhaan dan penegakan HAM,” pungkas Sandra.

Penulis: Dewi Purningsih

Top