Pembangunan Indonesia Harus Memperhatikan Hak Asasi Satwa

Reading time: 2 menit
hak asasi satwa
Foto: pixabay.com

Jakarta (Greeners) – Pembukaan lahan guna pembangunan infrastruktur maupun perkebunan dinilai masih belum berpihak pada kesejahteraan dan hak asasi satwa. Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) pada Direktorat Jendral Konservasi dan Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Dahono Adji menyatakan, banyak kasus tentang perburuan dan konflik antara satwa dan manusia terjadi di sekitar wilayah pemukiman masyarakat.

Ia menganggap bahwa habisnya lahan habitat satwa baik di dalam maupun di luar wilayah konservasi yang dibuka baik untuk kepentingan perkebunan, pertanian maupun pemukiman telah membuat satwa terancam dan kehilangan tempat hidupnya. Padahal di dalam ketentuan, menurutnya, pembukaan lahan tidak boleh membuka lahan konservasi. Sedangkan wilayah konservasi, diakuinya, masih membutuhkan banyak sekali bantuan untuk pengembangan dan pelestarian.

“Satwa itu memiliki hak hidup di alamnya, sedangkan manusia juga ingin memiliki lahan untuk kebutuhan hidup mereka. Dua kepentingan ini seharusnya bisa diintegrasikan di dalam pembangunan kita,” jelasnya kepada Greeners, Jakarta, Minggu (16/10).

BACA JUGA: Pemprov DKI Perlu Lakukan Inventarisasi Biodiversitas Asli Jakarta

Bambang Dahono menyatakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah memang sangat dibutuhkan. Untuk itu pemerintah telah membangun kawasan ekosistem esensial. Kawasan ini adalah areal di luar kawasan hutan konservasi yang secara ekologi penting bagi pelestarian keanekaragaman hayati. Ia memberikan contoh areal luar wilayah konservasi yang ternyata tempat transit burung antar benua.

“Nah kalau ada tempat seperti itu (transit burung), ya, jangan dibabat meskipun di luar wilayah konservasi,” tambahnya.

Selain insitu atau wilayah konservasi, katanya lagi, pemerintah juga telah melakukan upaya pengembangbiakan satwa melalui pembangunan konservasi exsitu seperti kebun binatang. Kebun binatang tidak hanya berfungsi sebagai sarana edukasi, tapi juga tempat pengembangbiakan dan penelitian.

Untuk membangun kebun binatang pun tidak bisa sembarangan. Bambang menyatakan bahwa ada beberapa syarat utama yang harus dipenuhi oleh Lembaga Konservasi. Saat ini, ujarnya melanjutkan, pemerintah tengah membuat pedoman sarana dan prasarana lembaga konservasi. Pedoman ini nantinya akan menjadi standar pengelolaan Lembaga Konservasi.

“Pedomannya baru mau diterbitkan. Drafnya lagi saya bangun. Sebelum ditandantangani oleh Menteri, draf ini akan dibahas bersama dengan beberapa lembaga konservasi. Ini supaya kesejahteraan satwa yang ada di Lembaga Konservasi bisa terjamin dan tidak menjadi masalah,” ujarnya.

BACA JUGA: Penyelamatan TSL Dilindungi, Indonesia Punya Banyak Pekerjaan Rumah

Di Indonesia sendiri, 30 persen dari 71 Lembaga Konservasi memiliki kondisi yang tidak layak. Hingga saat ini, masih ada sekitar sembilan Lembaga Konservasi dalam proses perizinan.

Di sisi lain, aktivis perlindungan hewan dari Jakarta Animal Aid Network, Femke Den Haas, menyatakan, seluruh satwa memiliki hak untuk hidup secara baik dan sejahtera baik domestik, liar, maupun dilindungi. Menurutnya, masyarakat harus sering di edukasi mulai usia dini untuk selalu menghormati dan menghargai hak-hak satwa.

Femke juga mengatakan bahwa perusakan hutan yang dituding banyak dilakukan oleh perusahaan sawit di Indonesia juga berpengaruh bagi keberadaan habitat satwa.

“Perlindungan terhadap satwa kita sangat lemah. Revisi UU Nomor 5 Tahun 1990 saja lama sekali diselesaikannya. Belum lagi UU tentang Kesejahteraan Satwa juga sama, masih sangat lemah. Ini kan jelas sekali pemerintah tidak memprioritaskan kesejahteraan satwa ini,” katanya.

Penulis: Danny Kosasih

Top