Perhutanan Sosial di Lahan Gambut Belum Maksimal

Reading time: 2 menit
perhutanan sosial
Diskusi "Perhutanan Sosial di Lahan Gambut, Menyejahterakan Warga dan Menjaga Ekosistem Gambut Tetap Lestari" digelar di salah satu rumah makan di Jakarta, Selasa (09/01). Foto: greeners.co/Dewi Purningsih

Jakarta (Greeners) – Wilayah ekosistem gambut tengah berada dalam fase kritis, di mana sebagian besar masyarakat yang berada di dalam maupun di sekitar ekosistem gambut menjadi terancam karena adanya kerusakan ekosistem gambut yang berdampak pada rusaknya lingkungan hidup. Dalam diskusi yang diadakan oleh Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) pada Selasa (09/01), di Jakarta, disimpulkan bahwa terbakarnya lahan gambut menjadi penyebab terbesar kerusakan ekosistem gambut.

Sebagai salah satu solusi untuk melakukan dan meningkatkan upaya restorasi gambut, Badan Restorasi Gambut (BRG) mengupayakan untuk memaksimalkan kebijakan perhutanan sosial di kawasan gambut.

Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG Myrna Asnawati Safitri menjelaskan, pada tahun 2017, BRG melakukan kegiatan kerajinan di 75 desa dan kelurahan yang ada di tujuh provinsi. Seluruh desa tersebut diperkirakan seluas 1,1 juta hektar dengan wilayah gambut seluas 870.000-an ha.

Pada tahun tersebut, yang masuk ke dalam kawasan hutan yang berpotensi menjadi wilayah perhutanan sosial mencapai 559.428 ha, dimana komposisinya 48 persen berada di kawasan konservasi dan 52 persen di kawasan hutan lindung dan hutan produksi.

“Artinya, potensi perhutanan sosial yang dapat dikembangkan adalah kemitraan dengan taman nasional dan lainnya yang ada di kawasan konservasi ada 270.000 hektar. Selebihnya itu untuk hutan desa dan hutan kemasyarakatan,” kata Myrna.

BACA JUGA: Jokowi Resmikan Program Perhutanan Sosial di Muara Gembong

Di pihak lain, Isnadi Esman dari Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) menyatakan bahwa mereka menghadapi berbagai kendala dalam memanfaatkan lahan gambut di wilayah mereka di Pulau Padang, Riau.

Kendala-kendala tersebut antara lain tidak adanya kepastian hak atas ruang kelola, stigma para pihak yang menyebutkan masyarakat tidak mampu mengelola lahan gambut, gambut dipandang sebagai lahan kosong dan tidak produktif yang hanya bisa dikelola oleh perusahaan dengan teknologi canggih, dan kondisi hidrologis gambut saat ini seperti hilangnya tutupan hutan dan mudah terbakar.

Menurut Isnadi, UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan juga menjadi kendala. Regulasi ini melarang mengolah dengan membakar tanpa ada dispensasi dan solusi.

Meski demikian, adanya gugatan PT RAPP yang ditolak oleh PTUN Jakarta terkait revisi rencana kerja usaha (RKU) seperti memberikan angin segar bagi masyarakat Pulau Padang. “Harapannya areal pencabutan izin bisa dikembaikan ke masyarakat. Masyarakat mampu kok untuk mengelola gambut,” kata Isnadi.

BACA JUGA: Gugatan PT RAPP Ditolak, KLHK Tegaskan Pentingnya PP Gambut

Sementara, pihak pemerintah yang diwakili BRG juga sedang memperjuangkan program restorasi gambut dengan skema perhutanan sosial. Skema tersebut digunakan BRG karena memiliki daya ikat yang secara langsung berkaitan dengan kesesuaian lahan dan penguasaan lahan bagi masyarakat.

“Masalah koordinasi dengan KLHK sebagai pihak yang mengantongi izin perhutanan sosial sampai saat ini berjalan cukup lancar, akan tetapi kendala di tingkat masyarakat menjadi penting karena penyiapan dan perencanaan pengelolaan lahan gambut menjadi bagian dari perhutanan sosial, harus dan wajib bermanfaat serta berdayaguna bagi masyarakat,” tutup Myrna.

Penulis: Dewi Purningsih

Top