Restorasi Ekosistem Harus Perkuat Perlindungan Satwa dan Hutan

Reading time: 3 menit
Restorasi ekosistem harus juga melindungi kelestarian satwa dan habitatnya. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Pemerintah perlu mendorong penguatan kebijakan restorasi ekosistem. Revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya harus mendukung penguatan itu. Revisi UU tersebut sangat penting, untuk memperkuat perlindungan sumber daya alam hayati Indonesia dari berbagai ancaman.

Menurut data dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List of Threatened Species, lebih dari 8.400 spesies fauna dan flora liar terancam punah. Hampir 30.000 lainnya rentan punah.

Hilangnya spesies, habitat dan ekosistem yang terus berlanjut juga mengancam semua kehidupan di bumi termasuk manusia. Karena semua bergantung pada satwa liar dan sumber daya berbasis keanekaragaman hayati untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Saat ini, Komisi IV DPR RI, Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah menyepakati revisi UU No 5 Tahun 1990 tersebut.

Pokja Kebijakan Konservasi M. Jeri Imansyah mengakui, ada aturan kebijakan rehabilitasi dan reboisasi tapi masih sangat terbatas. Sementara, sambung dia restorasi ekosistem cakupannya sangat luas. Termasuk di dalamnya terkait manajemen dan ketegasan implementasi penegakkan hukum agar menimbulkan efek jera.

“Ini akan menjadi cantolan kita untuk konservasi, termasuk menjadi pemersatu kebijakan-kebijakan terkait konservasi di bawahnya,” katanya dalam Webinar Memulihkan Spesies Kunci untuk Restorasi Ekosistem, Sabtu (5/3).

Restorasi Ekosistem Butuh Pemulihan dan Perlindungan Ekstra

Jeri menyebut, konservasi tak lepas dari proteksi dan pengelolaan habitat, termasuk di dalamnya kawasan lindung dan ekosistem esensial. Kawasan konservasi, seperti taman nasional, suaka margasatwa telah memiliki pengelolaan dan penguatan. Termasuk di dalamnya patroli, monitoring, penegakkan hukum dan edukasi yang telah terstruktur. Sementara, di kawasan ekosistem esensial masih memiliki tantangan tersendiri, karena tak ada standar juknis dan operasional.

“Keberadaan ekosistem esensial sangat penting karena mayoritas area ini bukan kawasan lindung, bukan kawasan hutan. Ada HGU, tanah pribadi rakyat. Kalau ada di wilayah perusahaan swasta lebih mudah koordinasinya, tapi kalau ada di tanah masyarakat ini perlu diatur lagi, tantangan kita,” paparnya.

Jeri menyebut, saat ini mindset masyarakat terhadap pengelolaan satwa liar masih belum menjadi prioritas. Masih banyak masyarakat yang menilai bahwa satwa liar merupakan “hama” yang harus mereka musnahkan, buru bahkan perdagangkan.

Hal ini menyusul banyaknya satwa liar, baik itu gajah, harimau hingga orang utan yang masuk ke pemukiman. Padahal, lanjut Jeri satwa liar masuk ke pemukiman karena habitat mereka yang hilang karena telah dirusak.

“Mindset masyarakat tentang satwa liar ini yang harus kita ubah. Termasuk perilaku kita menuju konservasi yang lebih baik lagi,” imbuhnya.

Tak Sekadar Memperbaiki Habitat Satwa

Anggota Forum Harimau Kita, Irene M.R Pinondang mengatakan, restorasi ekosistem tak sekadar memperbaiki habitat satwa, tapi perlu upaya pemulihan spesies dan hutan. Ancaman deforestasi merupakan hal yang tak terhindarkan mengingat “rumah” harimau berada di hutan. Dan, ketiganya harus berjalan beriringan.

“Kalau harimau ke luar yaitu ke pemukiman, mereka lantas dianggap sebagai “hama”,” ucapnya.
Indonesia memiliki tiga subspesies harimau, yaitu Harimau Jawa (sudah punah sejak tahun 1980an). Lalu Harimau Sumatera dan Harimau Bali (sudah punah sejak 1940-an).

Ia menyebut, angka populasi harimau telah berkurang pesat seiring banyaknya publik figure dan influencer yang memelihara harimau di rumahnya masing-masing. Lalu masyarakat pun mengikuti. Maraknya perdagangan ilegal dan perburuan juga menurunkan populasi harimau.

Satwa Punya Peran di Alam

Sementara itu Wakil Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia, Wisnu Sukmantoro menyatakan, dalam konteks restorasi ekosistem, gajah memiliki fungsi strategis. Fungsi tersebut yakni mempercepat fungsi secara luas karena mereka mampu memencar biji untuk stimulus regenerasi rumput dan semak.

Gajah juga dapat menjadi indikator kebersihan air, mengingat mereka tak akan mendiami kawasan yang tercemar. “Itulah kenapa pemulihan populasi gajah dapat dijadikan sarana untuk melakukan restorasi ekosistem,” ujarnya.

Perwakilan dari Forum Komunikasi Leuser, Afifi Rahmadetiassani mengungkapkan, saat ini jumlah badak di Leuser Barat lebih dari 15 individu. Sedangkan di Leuser Timur tak lebih dari 15 individu. Upaya monitoring dan patroli terus dilakukan untuk mengurangi jumlah perburuan menggunakan perangkap.

Afifi menyatakan, saat ini jumlah perangkap yang forum temukan menurun. Hal ini seiring dengan semakin sadarnya masyarakat terhadap pentingnya keberadaan satwa liar. “Tahun 2016 kita menemukan sebanyak kurang lebih 1.000 perangkap. Tapi di tahun 2019 kita menemukan kurang lebih 219 perangkap,” imbuhnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top