Perubahan Iklim Bakal Punahkan 37 % Spesies di Tahun 2050

Reading time: 2 menit
Lindungi keanekaragaman hayati dari perubahan iklim. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Hilangnya keanekaragaman hayati akibat perubahan iklim tak sekadar berimbas pada kebutuhan pangan, energi dan kesehatan, tapi juga keajegan bumi. Apabila tak ada aksi nyata pengelolaan stok karbon dan melawan perubahan iklim, keanekaragaman hayati tak lama lagi akan terancam punah.

Ketua Institute for Sustainable Earth and Resources (I-SER) FMIPA Universitas Indonesia, Jatna Supriatna menyatakan berdasarkan Journal Nature Climate Change bila tak ada aksi nyata dalam melawan perubahan iklim, 37 % spesies akan punah pada tahun 2050. Lalu pada tahun 2100 nanti 70 % biodiversitas akan terancam punah.

“Artinya jika kita tetap pada business as usual dan tanpa ada perubahan yang berarti dalam me-manage climate change maka biodiversitas kita akan punah,” katanya dalam Webinar “Nilai Konservasi Tinggi dan Stok Karbon Tinggi untuk Perlindungan Keanekaragaman Hayati Indonesia”, Selasa (31/5).

Keanekaragaman hayati tak hanya menyokong kebutuhan pangan, energi, kesehatan, tapi juga kestabilan bumi.

“Karena keanekaragaman hayati menyokong keajegan planet bumi. Kalau keanekaragaman hayati punah mungkin kita akan sulit untuk bisa menghuni planet bumi ini,” ucapnya.

Jamin Cadangan Karbon Tekan Dampak Perubahan Iklim

Aksi untuk melawan perubahan iklim tak lepas dari target pencapaian net zero emission (NZE) pada tahun 2060 nanti. Hal yang tak kalah penting, lanjutnya memastikan pengelolaan cadangan karbon yang besar sebagai rumah bagi keanekaragaman hayati.

“Kita harus memastikan berapa stok karbon. Terutama pada wilayah hutan, gambut, mangrove hingga blue carbon di pesisir yang menjadi kontributor besar untuk penyelamatan biodiversitas kita,” ungkapnya.

Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dolly Priatna menyatakan Hari Keanekaragaman Hayati setiap 22 Mei menjadi peringatan penting. Khususnya membagikan pengetahuan kepada seluruh stakeholders dan masyarakat luas pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem termasuk pelestarian keanekaragaman hayati, serta hubungannya dengan ekonomi dan pembangunan yang berkelanjutan.

Laporan komprehensif bertajuk Global Assessment Report on Biodiversity and Ecosystem Services 2019 oleh IPBES (The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services) memaparkan status keanekaragaman hayati bumi kini semakin mengkhawatirkan.

Para ilmuwan mengungkap saat ini, bumi telah kehilangan lebih dari 80 % satwa menyusui (terdiri dari satwa mamalia dan primata). Pemicunya kerusakan ekosistem alami 100 kali lebih cepat dari yang terjadi selama 10 juta tahun terakhir.

Ia juga mengatakan, keanekaragaman hayati memiliki nilai intrinsik yang berhak untuk tetap hidup. Walau tidak memberikan manfaat langsung bagi manusia. “Kehilangan atau penurunan kondisi keanekaragaman hayati dapat membahayakan nilai dan fungsi tersebut. Serta mempengaruhi kesejahteraan manusia,” imbuhnya.

Dolly menegaskan, upaya untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati bukan hanya tugas pemerintah saja. Namun butuh dukungan aktif semua pihak, termasuk sektor swasta dan masyarakat dengan pendekatan bentang alam.

Keanekaragaman Hayati Indonesia Unik dan Endemik

Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Direktur Pusat Studi Etika Lingkungan Universitas Nasional, Endang Sukara mengingatkan, keanekaragaman hayati Indonesia sangat unik dan sebagian besar endemik. Kondisi ini tidak dapat ditemukan di negara lain.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengungkapkan potensi ekonomi keanekaragaman hayati terutama untuk bisnis farmasi multi miliar dolar.

“Oleh karena itu, kita harus betul-betul menyadari pentingnya keanekaragaman hayati. Tidak hanya melindunginya tetapi yang lebih penting memanfaatkannya dan keuntungan bagi sebesar-besarnya bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia,” tegasnya.

Senada dengan hal tersebut, Presiden Direktur Daemeter Consulting, Aisyah Sileuw menyebut, pendekatan nilai konservasi tinggi dan stok karbon tinggi membantu untuk menyeimbangkan antara kegiatan pembangunan dan konservasi.

“Jika dilakukan secara konsisten, seharusnya tidak ada lagi dikotomi antara pilihan pembangunan dan konservasi karena masing-masing tujuan akan terpenuhi,” imbuhnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top