Jakarta (Greeners) – Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Namun, kekayaan tersebut justru membuat tanah air menjadi negara rawan pencurian sumber daya alam. Terlebih lagi pencurian tersebut terjadi di wilayah konservasi insitu yang dilindungi oleh pemerintah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai keselamatan biodiversitas di Indonesia.
Sebagai upaya pelestarian,Β Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memulai program konservasi eksitu rumah kaca raksasa di Cibinong yang ditargetkan selesai pada 2022. Hal ini bertujuan untuk mendukung program konservasi dengan menciptakan ekosistem tiruan atau yang mirip dengan habitat alam asli.
Baca juga: Gajah Jinak Sumatera Ditemukan Mati di Unit Konservasi
Kepala LIPI Laksana Tri Handoko mengatakan konservasi eksitu dan insitu harus ada untuk saling melengkapi. Apalagi untuk spesies tertentu yang masih sulit ditiru ekosistemnya. Menurutnya konservasi eksitu dapat menjamin pelestarian lebih baik. Ia menilai indikator keberhasilan dilihat dari ketersediaan spesies secara berkelanjutan dalam bentuk hidup, aklimatisasi pada habitat baru eksitu, dan perbanyakan spesies untuk menjamin keberlangsungannya.
βItu pula sebabnya mengapa kita memiliki target untuk mendirikan kebun raya sebagai wahana konservasi eksitu sebanyak minimal di 39 lokasi yang mewakili ekoregion yang ada di Indonesia. Lebih khusus lagi 12 kebun rayaΒ langsung dikelola LIPI untuk menjamin konservasi eksitu dari primary eco-oregionΒ dan sisanya adalah kebun raya daerah yang dikelola bersama pemda dengan supervisi LIPI untuk menampung secondary eco-region,βujarΒ Handoko kepada Greeners, Rabu, (12/08/2020).
Ia mengatakan bahwa upaya konservasi menjadi modal utama dan awal bagi ekonomi Indonesia di masa depan.βMasa depan ekonomi adalah bio-ekonomi bukan lagi berbasis teknologi keras,β ucapnya.
Bioprospeksi: Model Pemanfaatan Berkelanjutan dari Kawasan Konservasi
Endang Sukara, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia mengutip Convention on Biological DiversityΒ (CBD) yang telah diratifikasi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 bahwa konservasi insitu dan eksitu sama-sama penting untuk melindungi keanekaragaman hayati indonesia.
βPusat konservasi eksitu seperti kebun raya LIPIΒ memilikiΒ empat fungsi. Pertama konservasi, riset, pendidikan, rekreasi,Β dan satu lagi yang saya tambahkan adalah sebagai pusat untuk memuarakan tumbuhan Indonesia menjadi soko guru untuk mensejahterakan rakyat Indonesia,βujar Endang.
Ia mengatakanΒ tumbuhanΒ jikaΒ sudahΒ diteliti dengan sungguh-sungguh akan muncul manfaat baik untuk pangan, sandang, obat, energi, dan kebutuhan umat manusia lainnya.Β Contohnya kantung semar yang dirambah, kata dia, ampuh untuk mengobatiΒ kanker.
Baca juga: CREA: Pembangkit Listrik Sumbang Polusi Udara di Ibu Kota
βJika sudah jadi block buster drugΒ omsetnya miliaranΒ dollar. Kasus obat kanker prostat dulu omsetnya mencapai 8.6 miliar dollar. Saya sebagai anggota AIPI sedang menyusun policyΒ briefΒ tentang bioekonomi, mudah-mudahan bisa diluncurkan dalam waktu dekat,βujar Endang.
Pengembangan biopropeksi ini sejalan dengan Peta Jalan PembangunanΒ HutanΒ 2045Β Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional padaΒ 2040. Pemerintah menargetkan Indonesia menguasai pangsa pasar bioprospeksi dunia.Β PenemuanΒ iniΒ dinilai telah teruji baik di tingkat laboratorium maupun plot percobaan. Selain itu juga berhasil meningkatkanΒ produksiΒ tanamanΒ panganΒ sertaΒ mengurangi biaya produksi.
Di masa yang akan datang biopropeksi diharapkan dapat menjadi model pemanfaatan berkelanjutan kawasan konservasi serta menyeimbangkan antara kelestarian kawasan dan kesejahteraan.
Hal tersebut juga sejalan dengan peringatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) yang mengampanyekan pentingnya konservasi alam bagi kesejahteraan masyarakat. HKAN sendiri ditetapkan setiap 10 Agustus sejak 2009 oleh Presiden Republik Indonesia keenam, Susilo Bambang Yudhoyono.
Penulis: Dewi Purningsih