Perusahaan Pengembang di Kawasan Taman Nasional Komodo Sudah Memiliki Izin

Reading time: 2 menit
taman nasional komodo
Komodo (Varanus komodoensis). Foto: flickr.com/photos/gun254/14672766300/

Jakarta (Greeners) – Rencana pengembangan wisata alam di Taman Nasional Komodo menuai kontroversi. Atas isu ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) menyatakan bahwa pembangunan tersebut berada di zona pemanfaatan.

Direktur Jenderal KSDAE Wiratno mengatakan, saat ini ada dua perusahaan yang sedang membangun wisata alam di TNK, yaitu PT Segara Komodo Lestari (SKL) dan PT Komodo Wildlife Ecoturism (KWE). Wiratno menampik kalau pembangunan yang akan dilakukan oleh kedua perusahaan tersebut akan mengganggu ekosistem di dalam kawasan konservasi TNK dan adanya privatisasi.

“Tidak ada privatisasi dalam pembangunan wisata alam di Taman Nasional Komodo, yang ada adalah pemberian Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) berdasarkan PP Nomor 36 Tahun 2010 dan Permehut Nomor P.48/menhut-II/2010 jo. Permenhut Nomor P.4/menhut-II/2012 di mana ada hak dan kewajiban serta sanksi apabila ada pelanggaran dari pemegang izin,” ujar Wiratno saat jumpa wartawan “Pengembangan Wisata Alam Di Taman Nasional Komodo” di Gedung Manggala Wanabhakti, Kamis (09/08/2018).

BACA JUGA: Kuota Wisatawan di 23 Gunung di Taman Nasional Akan Dibatasi

PT SKL diberikan IUPSWA dI Pulau Rinca berdasarkan Keputusan Kepala BKPM Nomor 7/1/IUPSWA/PMDN/2015 tanggal 17 Desember 2015 seluas 22,1 hektare (ha) atau 0,1% dari luas Pulau Rinca (20.721,09 ha), dan yang diizinkan untuk dibangun sarana dan prasarana maksimal 10% dari luas izin yang diberikan atau seluas 2,21 ha.

Sementara PT KWE diberikan IUPSWA di Pulau Komodo dan Pulau Padar berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.796/Menhut-II/2014 tanggal 23 September 2014 seluas 426,07 ha, yang terdiri atas 274,13 ha atau 19,6% dari luas Pulau Padar dan 151,94 ha atau 0,5% dari luas Pulau Komodo. Sarana dan prasarana dibangun dengan luas maksimal 10% dari luas izin atau sekitar 42,6 ha.

“Kedua perusahaan tersebut dalam hal pembangunan fisik berupa bangunan menggunakan konsep kearifan lokal dan ramah lingkungan baik dari segi material maupun tata cara pelaksanaannya (zero waste, zero emission, penggunaan material bambu dari bajawa, reverse osmosis (metode penyaringan larutan), solar panel, low impact,” ujar Wiratno.

BACA JUGA: Badan Otoritas Pariwisata Dianggap Merampas Wilayah Kelola Masyarakat

Wiratno menyatakan bahwa dalam pembangunan dan pengembangan rencana pengelolaan tidak menganggu lintasan komodo dan sarang komodo. Proses pembangunan menggunakan sistem bongkar pasang yang pengerjaan persiapannya dilakukan di luar kawasan taman nasional. Saat ini kedua perusahaan tersebut masih dalam proses pembangunan konstruksi.

“Ini perusahaan belum melakukan apa-apa dan belum operasional, yang satu izinnya keluar pada 2014 yang satu 2015. Jadi belum diketahui dampak dari perusahaan ini karena belum beroperasi. Mau beroperasi di demo padahal belum bangun apa-apa,” ujar Wiratno.

Sesuai dengan peraturan yang berlaku, perusahaan tersebut harus beroperasi paling lambat satu tahun setelah izin dikeluarkan. Namun dua perusahaan tersebut masih dalam tahap pembangunan karena masalah sosial budaya yang belum bisa dikendalikan dan proses sosialisasi yang panjang sehingga pemegang izin kesulitan untuk memulai usahanya.

“Semua izin-izin yang tadi disebutkan didorong untuk segera beroperasi, saya datangi satu-satu mana yang secara nyata tidak mampu, kita minta untuk mengembalikan izinnya. Tapi yang masih berkomitmen untuk melanjutkan, kita berikan tenggat waktu untuk menyelesaikan masalah-masalahnya,” kata Wiratno.

Penulis: Dewi Purningsih

Top