Pengurangan Emisi Karbon hingga 2030 Butuh Rp 4.002 Triliun

Reading time: 3 menit
Peningkatan emisi dan polusi memperburuk dampak perubahan iklim. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Indonesia membutuhkan pendanaan pengurangan emisi karbon hingga tahun 2030 sebesar Rp 4.002 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pentingnya optimalisasi keterlibatan peran swasta dan tak hanya mengandalkan APBN untuk mencapai target tersebut.

Sebagaimana target enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) dalam Paris Agreement, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi sebesar 31,89 % melalui usaha sendiri. Sementara 42 % melalui dukungan internasional.

Mengutip berbagai sumber, Sri Mulyani menyebut, kebutuhan pendanaan pengurangan emisi karbon tak hanya mengandalkan APBN, tapi membutuhkan investasi swasta. Saat ini, pemerintah Indonesia telah menggelontorkan anggaran sebesar Rp 313 triliun atau setara 8 % dari total kebutuhan investasi mengejar target NDC.

Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, swasta dapat berperan sebagai investor dan terlibat dalam proyek-proyek yang bertujuan mengurangi emisi karbon.

Sebagai investor, pihak swasta harus lebih aktif membeli sukuk ritel yang green ataupun green bond. Bahkan perusahaan harus mempunyai IPO yang bisa dijual ke luar negeri.

Menurutnya, masyarakat global sangat menaruh perhatian terhadap isu lingkungan. Negara-negara di Uni Eropa, lebih tertarik dengan investasi ke perusahaan-perusahaan yang menunjukkan perhatian pada lingkungan.

“Tentu bila perusahaan-perusahaan IPO berarti mereka mengeluarkan saham. Pemerintah memberikan justifikasi bahwa perusahaan tersebut pro pada perubahan iklim,” katanya kepada Greeners, Rabu (5/4).

Selain itu, perusahaan swasta harus terus didorong aktif dalam proyek-proyek pengurangan emisi. Misalnya, pemanfaatan energi biothermal yang lebih ramah lingkungan.

Akan tetapi, Tauhid juga menekankan ekosistem ini perlu didukung oleh pasar dan kebijakan pemerintah. “Ini juga harus kita pastikan. Karena kalau tak ada pembelinya akan sama saja,” imbuhnya.

Peran Penting Green Sukuk untuk Pengurangan Emisi

Demi menarik investor agar berinvestasi mencapai net zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat, pemerintah juga menyiapkan insentif fiskal dan inovasi pembiayaan.

Indonesia juga menggunakan instrumen pembiayaan dengan menerbitkan green sukuk serta SDG Bonds baik tingkat global dan domestik. Obligasi SDG serta sukuk hijau ini harapannya mampu mengurangi 10,6 juta emisi CO2.

Tauhid menyorot tren green sukuk di Indonesia sejatinya telah meluas, tapi presentasenya relatif lebih kecil daripada surat berharga lainnya.

Green sukuk adalah instrumen investasi berbasis prinsip syariah yang bertujuan untuk mendukung proyek ramah lingkungan. Masalahnya, produk ini banyak didominasi investor jangka pendek. “Dengan tingkat rate yang pendek maka tidak banyak diminati oleh kalangan investor ritel,” ungkapnya.

Ia juga menyebut, green sukuk berbasis syariah masih membutuhkan banyak dukungan. Sebab banyak investor yang belum sadar bahwa produk ini tak sekadar bermanfaat secara profit, tapi juga ke perbaikan lingkungan.

Green sukuk investasi berkelanjutan untuk bumi yang lebih hijau. Foto: Freepik

Insentif dan Disinsentif

Kepala Pusat Kebijakan Keenergian Institut Teknologi Bandung Retno Gumilang Dewi menyatakan kebutuhan total pendanaan pengurangan emisi tersebut seiring dengan komitmen internasional.

“Biaya tersebut bukan additional cost. Itu artinya termasuk investasi rencana yang sudah inline dengan target NDC kita, termasuk seperti melalui renewable energy, ada juga biofuel,” kata Retno.

Ia menambahkan, pemerintah hendaknya tegas memberikan insentif dan disinsentif termasuk untuk para pihak yang berkontribusi terhadap emisi. “Bahkan kalau perlu beberapa hambatan berupa peraturan yang tak mendorong pengurangan emisi harusnya hilang,” ujarnya.

Misalnya, peraturan PLN yang tidak mengizinkan konsumennya menggunakan solar PV lebih dari 15 %. Selain itu industri membayar biaya listrik flat akibat tak ada pengurangan biaya bila tak melakukan efisiensi energi. “Ini yang membuat akhirnya industri kurang menganggap pengurangan emisi ini lebih serius,” ungkapnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top