Polemik Nuklir dalam Draf RUU Energi Baru Terbarukan

Reading time: 2 menit
Polemik Nuklir dalam RUU Energi Baru Terbarukan
Polemik Nuklir dalam RUU Energi Baru Terbarukan. (Foto: Shutterstock).

Jakarta (Greeners) – Koalisi masyarakat sipil Indonesia untuk energi bersih menolak pencantuman energi nuklir pada draf Rancangan Undang-undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT). Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Satrio Swandiko Prillianto, menyebut tidak ada urgensi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Tanah Air.

“Poin tenaga nuklir dalam RUU EBT tidak perlu dimasukkan. Selain memecah fokus terhadap pengembangan Energi Terbarukan (ET) yang seyogianya dikedepankan dalam RUU ini, dari sisi urgensi juga tidak ada kebutuhan untuk membangun PLTN secepatnya,” tutur Satrio kepada Greeners, Selasa (29/09/2020).

Satrio menilai, nuklir merupakan teknologi lama yang telah berkembang sejak puluhan tahun dan bukanlah ‘energi baru’ apalagi terbarukan. Dia menyebut nuklir menggunakan bahan radioaktif yang bersifat seperti barang tambang. Selain itu beberapa poin mengenai nuklir pada RUU EBT terlalu umum dibandingkan UU Ketenaganukliran, UU no. 10/1997.

“Ini berpotensi terjadi tumpang tindih antar kedua undang-undang yang mengatur ketenaganukliran,” tambahnya.

Baca juga: Riset: Raksasa Bank Tanah Air Danai Sektor Perusak Hutan

Polemik Nuklir dalam RUU Energi Baru Terbarukan

Drone mengambil foto dari tower pendingin di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Chernobyl, Ukraina. (Foto: Shutterstock).

RUU EBT Harus Dorong Pemanfaatan Energi Terbarukan

Mendukung pendapat Satrio, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma menilai masuknya nuklir dalam RUU EBT sebagai hal yang membingungkan. Menurut Surya, RUU EBT harusnya mendorong pemanfaatan ET yang masih minim di Indonesia.

“Yang mau didorong itu pemanfaatan energi terbarukan. ET potensinya besar, banyak dan lengkap, tapi pemanfaatannya kecil. Supaya dia bisa cepat termanfaatkan, maka perlu payung hukum, perlu undang-undang,” tutur Surya saat diwawancara, Jumat (25/9).

Surya juga menekankan energi nuklir seharusnya digunakan sebagai opsi terakhir. Surya mengontraskan energi nuklir yang bersifat terbatas dengan potensi ET yang melimpah. Dia menilai potensi ET dapat meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi.

Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil: RUU EBT Harus Fokus pada Energi Terbarukan

Polemik Nuklir dalam RUU Energi Baru Terbarukan

Tenda pengunjuk rasa anti-nuklir di Tokyo, Jepang, 2015. (Foto: Shutterstock).

Energi Terbarukan Datangkan Kemandirian Energi

Menggemakan pernyataan Surya, Satrio menekankan penggunaan ET lebih menguntungkan ketimbang energi nuklir. Dia menilai penggunaan ET terutama akan mendatangkan keuntungan ekonomi.

“Keuntungan menggunakan ET dibandingkan nuklir adalah tidak dibutuhkannya bahan bakar yang berarti secara ekonomi mengurangi biaya operasi. Selain itu, keuntungan ET adalah sedikitnya limbah buangan sisa bahan bakar. Hanya bioenergi yang menghasilkan limbah buangan bahan bakar,” tuturnya.

Satrio pun mengontraskan keuntungan ET yang tidak menghasilkan limbah dengan limbah nuklir yang harus ditanggulangi dengan membangun fasilitas pembuangan limbah yang aman. Selain itu, dia menilai penggunaan ET dari surya dan angin memiliki potensi besar di Indonesia. Secara global, teknologi dua sumber energi ini dia nilai sudah cukup berkembang untuk bisa bersaing dengan teknologi konvensional.

Penulis: Ida Ayu Putu Wiena Vedasari

Editor: Ixora Devi

Top