Energi Nuklir Mampu Tekan Emisi Karbon, Indonesia Ingin Segera Miliki?

Reading time: 3 menit
Negara pengguna PLTN mendorong ketahanan energi listriknya sambil menekan emisi. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Harapan Indonesia untuk memakai energi nuklir sebagai pembangkit listrik nampaknya masih harus melewati jalan panjang. Selain kesiapan infrastruktur pembangunan reaktor, penerimaan publik pun menjadi pertimbangan penting mewujudkan hadirnya pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang pakar nuklir sebut rendah dan minim emisi karbon.

Dunia saat ini berupaya menekan emisi karbon. Kenaikan emisi akan terus mendorong laju perubahan iklim yang berdampak pada kehidupan manusia. Dampak yang mulai terasa, kenaikan suhu dan meningkatnya kejadian bencana hidrometeorologi seperti banjir serta longsor.

Peneliti Ahli Utama Organisasi Riset Tenaga Nuklir Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Djarot S Wisnubroto mengatakan, dalam mendukung net zero emission 2060, Indonesia membuat peta jalan. Dalam peta jalan (roadmap) tersebut, ada target dan rencana Indonesia membangun PLTN pada tahun 2045.

“Pemerintah Indonesia menyatakan di samping menargetkan secara bertahap menghentikan operasi pembangkit listrik yang sumber energinya dari batu bara, juga memaksimalkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT). Bahkan Pemerintah Indonesia menyatakan opsi penggunaan nuklir rencananya akan dimulai di 2045 dengan kapasitas hingga mencapai 35 Giga Watt di tahun 2060,” kata Djarot dalam webinar di Jakarta, Selasa (16/11).

Dalam webinar bertajuk Siapkah Energi Nuklir Mendukung Net Zero Emission di Indonesia? Djarot yang juga mantan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional menjelaskan, dalam pembangunan PLTN ada pro dan kontra di masyarakat.

Sejumlah pihak pro PLTN menyebut emisi karbon yang PLTN hasilkan rendah, harga listriknya kompetitif dan harga bahan bakar tidak mempengaruhi harga listrik.

Sedangkan pihak yang kontra mengaku takut terjadi kebocoran reaktor. Lalu menyoal limbah radioaktifnya serta pembangunan reaktor mahal dan lama.

“Memang lebih lama dan mahal dari pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Lalu pertanyaan khas Indonesia, apakah kita bisa mengelola teknologi berisiko sementara kita budaya keselamatannya masih rendah,” tutur Djarot.

Legalitas Energi Nuklir Dalam Undang-Undang

Di Indonesia legalitas PLTN telah diatur dalam sejumlah undang-undang (UU), seperti UU No 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran, kemudian UU No 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang mengamanatkan nuklir dapat dimanfaatkan pembangkit listrik antara tahun 2015-2019. Selanjutnya Peraturan Pemerintah (PP) No 76 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Energi Nasional, Energi Nuklir sebagai Pilihan Terakhir.

Kepala Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Deendarlianto mendorong pemerintah mengambil langkah baru untuk memanfaatkan PLTN dan sumber energi alternatif sebagai solusi sumber energi nasional.

Deendarlianto juga menegaskan bahwa PLTN merupakan suatu hal yang wajib. Dengan sejumlah peraturan yang telah ada, menurutnya PLTN ini perlu masuk ke dalam konsep ketersediaan dan prediksi sumber energi nasional untuk menjamin keamanan energi.

“Kami menyimpulkan bahwa PLTN merupakan sebuah keharusan. Konsep yang kami bangun adalah ketersediaan dari sumber energi nasional dan prediksi kebutuhan energi nasional mengharuskan kita perlu menjamin security energi dan konsep energi bersih. Sehingga PLTN harus masuk di dalamnya,” paparnya.

Anggota Dewan Energi Nasional sekaligus Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) tahun 2008-2014 As Natio Lasman juga mengatakan, bahwa Indonesia telah siap dalam menerapkan energi nuklir dengan melakukan pembangunan PLTN. Kesiapan tersebut dapat terlihat dari sejumlah hal seperti sumber daya manusia, sumber daya energi, sampai dengan kesiapan lokasi.

“Sumber daya manusia (SDM) telah teruji dalam reaktor riset. Sumber daya energi ada dan perlu pendanaan yang memadai industri. Hal ini perlu, sayang jika dibiarkan begitu saja. Kemudian untuk lokasi telah ada beberapa lokasi potensial seperti ada di Kalimantan Barat dan di Bangka Belitung,” ungkapnya.

Reaktor riset GA Siwabessy mendukung penerapan teknologi nuklir di bidang kesehatan, pangan dan pertanian. Foto: Batan (BRIN)

Kesiapan Indonesia Bangun PLTN

Sebelum membangun reaktor untuk energi nuklir, Indonesia telah memiliki tiga reaktor riset nuklir. Reaktor riset tersebut berada di Bandung, Yogyakarta dan kawasan Puspiptek Serpong Tangerang Selatan. Tiga reaktor riset ini mendukung penerapan teknologi nuklir di bidang pangan, kesehatan, pertanian dan lingkungan.

Reaktor Triga 2000 sudah ada sejak tahun 1964 di Bandung dengan kekuatan mencapai 250 kW. Kedua, Reaktor Kartini Yogyakarta yang sudah ada sejak 1979 dan memiliki kekuatan 100 kW. Kemudian yang terakhir yaitu reaktor riset serba guna G.A Siwabessy. Reaktor riset nuklir ini sudah ada sejak 1987 dan berlokasi di Serpong, Tangerang Selatan dengan kekuatan 30 MW.

Djarot mengungkapkan dalam pengelolaan limbah radioaktif Indonesia pun telah siap. Hal ini dapat terlihat dari adanya gudang penyimpanan limbah radioaktif yang berlokasi di Serpong, Tangerang Selatan. Selain itu juga tersedia penyimpanan bahan bakar nuklir bekas yang juga berlokasi di Serpong.

Survei untuk melihat seberapa jauh dukungan masyarakat khususnya yang berada di Bangka Belitung dan Kalimantan Barat terhadap program PLTN di Indonesia juga telah terselenggara. Hasil survei pada tahun 2017 menunjukkan 48,25 % masyarakat Bangka Belitung setuju. Sementara, di Kalimantan Barat survei pada 2019 menunjukkan 87,17 % masyarakat setuju terhadap program PLTN di Indonesia.

“SDM dan infrastruktur Indonesia sudah siap dalam program pembangunan PLTN. Tidak hanya masalah reaktor saja, tetapi juga pendukung lainnya. Pengelolaan limbah radioaktif, bagaimana mengkajinya, termasuk kalau perlu ikut mendesain reaktornya, kita siap,” tandas Djarot.

Penulis : Fitri Annisa

Top