Indonesia Dinilai Belum Mampu Kelola Limbah Radioaktif PLTN

Reading time: 3 menit
Kebocoran limbah radioaktif nuklir ancam kesehatan manusia dan lingkungan. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Dwi Sawung mengungkap, ketidaksiapan teknis dalam pengelolaan limbah radioaktif masih menjadi tantangan pengembangan energi nuklir di Indonesia. Risiko kebocoran nuklir dari pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) juga sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.

“Masih jauh dari kesiapan. Kasus pembuangan limbah radioaktif di Komplek Batan Indah Serpong misalnya menunjukkan ketidaksiapan soal disiplin dan ketaatan mengelola limbah radioaktif,” katanya kepada Greeners, Selasa (25/10).

Permasalahan kebocoran reaktor nuklir tak hanya harus Indonesia perhatikan. Hal ini juga menjadi permasalahan negara-negara lain di dunia.

“Sampai sekarang tidak jelas prosedur apa yang dilewatkan dan upaya apa untuk mencegah tindakan serupa tidak berulang,” ucap Sawung.

Hal ini, harus menjadi isu penting sebelum akhirnya Indonesia mengembangkan transisi energi baru terbarukan melalui PLTN. Ia menilai, transisi EBT yang pemerintah wacanakan merupakan solusi palsu.

“Solusi palsu merupakan sumber-sumber energi serta pemanfaatannya yang menciptakan dampak sosial baru, berisiko tinggi. Selain itu juga tidak regeneratif, tidak signifikan mengurangi emisi, tak distributif dan tak inklusif,” tuturnya.

Negara pengguna PLTN mendorong ketahanan energi listriknya sambil menekan emisi. Foto: Shutterstock

PLTN Turunkan Emisi

Sebelumnya, PLTN digadang-gadang mampu mendukung pencapaian net zero emission pada tahun 2060 nanti. Dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), Indonesia menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 %. Lalu dengan bantuan internasional sebesar 43,2 % pada tahun 2030.

Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andriah Faby Misna menyatakan, sektor energi berkontribusi besar terhadap emisi. Pemerintah telah menentukan target penurunan emisi karbon pada sektor ini sebesar 385 juta ton CO2 pada tahun 2030 nanti.

Ia menekankan pentingnya memensiunkan secara masif pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara secara bertahap diikuti dengan pengembangan energi baru terbarukan (EBT).

“Oleh karenanya butuh keseriusan untuk menurunkan emisi yakni melalui percepatan pengembangan energi terbarukan yang dalam transisinya membutuhkan energi nuklir,” katanya dalam acara Kesiapan Energi Terbarukan dan Nuklir dalam Mendukung Pencapaian Net Zero Emission (NZE) di Jakarta baru-baru ini.

Menurutnya, potensi EBT di Indonesia sangat besar. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 Tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan hingga RUU EBT yang akan segera terbit hadir memperkuat kebijakan itu.

Ia menekankan pentingnya penelitian dan pengembangan lebih lanjut untuk pengembangan nuklir. “Mulai dari keamanan nuklir hingga masalah teknis lainnya. Peran litbang sangat penting untuk mendukung transisi energi ini,” kata dia.

Reaktor riset GA Siwabessy mendukung penerapan teknologi nuklir di bidang kesehatan, pangan dan pertanian. Foto: Batan (BRIN)

Indonesia Masih Menimbang-Nimbang

Anggota Dewan Energi Nasional Agus Puji Prasetyo mengatakan, Indonesia berhadapan dengan anomali antara mengejar target pengurangan emisi dan pertumbuhan ekonomi.

“Di satu sisi dengan mematikan pembangkit yang mengirimkan CO2 ke udara, itu sudah selesai. Tapi pada saat mematikan energi yang berbasis fosil, di saat yang sama kita harus menumbuhkan ekonomi,” ujarnya.

Agus optimistis Indonesia mampu mengembangkan PLTN meski berada di ring of fire. “Melalui teknologi generasi ketiga dan keempat kita optimis baik gempa, angin hingga perubahan iklim tak akan berdampak pada PLTN. Seperti halnya Jepang, mereka di ring of fire tapi bisa diantisipasi juga,” ungkapnya.

Senada dengannya, Pengembang Teknologi Nuklir Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Suparman menyatakan, kondisi geografis Indonesia dalam garis cincin gunung berapi tak berarti menghambat pembangunan PLTN.

Melalui kajiannya, beberapa lokasi alias tapak PLTN di Indonesia yaitu Banten, Jepara, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.

Lebih jauh, ia mengungkap setidaknya terdapat tiga tahapan menuju pembangunan PLTN. Indonesia masih dalam tahap pertama yakni dalam posisi mempertimbangkan.

“Belum berlanjut ke tahap kedua yakni persiapan. Saat ini belum ada keputusan pasti apakah membangun PLTN atau tidak. Statusnya masih nunggu keputusan pemerintah,” ucapnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top