Produsen Perlu Ubah Mindset Agar Tak Hasilkan Sampah Plastik

Reading time: 3 menit
Konsumen memperlihatkan kemasan isi ulang produk. Selain hemat, aksi ini juga mampu menekan timbulan sampah plastik. Foto: Unilever

Jakarta (Greeners) – Produsen harus mengubah mindset agar menjalankan bisnis ramah lingkungan dan mengurangi sampah produknya seperti misalnya sampah plastik. Perubahan mindset itu bisa dengan mendaur ulang bekas kemasan produknya, menggunakannya kembali (reuse) hingga isi ulang (refill).

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, jumlah sampah terutama sampah plastik di Indonesia meningkat signifikan.

Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada tahun 2021, terdapat 68 juta ton sampah. Dari data itu, terdapat peningkatan jumlah sampah plastik 17 % dari tahun 2010 hingga 2021.

Sementara itu hanya 10-15 % sampah yang berhasil terdaur ulang. Sisanya 60-70 % dibuang ke TPA dan 15-30 % belum terkelola. Ia juga menyebut, kondisi bahan baku daur ulang dari pemanfaatan total timbulan sampah plastik perkiraanya masih 50 %. Sedangkan sisanya impor dari luar negeri.

Menurutnya, amanat Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 Tentang Kebijakan Strategi Nasional menyebut target pengurangan sampah sebesar 30 % dan penanganan sampah sebesar 70 %. Itu artinya, harapannya, 100 % sampah terkelola dengan baik.

Produsen Ikut Bertanggung Jawab Mengurangi Sampah Kemasan

Dalam hal ini, Vivien menyebut pentingnya keterlibatan produsen, utamanya sektor penyedia makanan untuk melakukan pengurangan sampah plastik. Misalnya mulai dari pengurangan sampah kemasan, kantong belanja, hingga sedotan plastik yang jumlahnya dalam sehari mencapai 93 juta sedotan plastik.

Penting, sambung dia agar para produsen sektor penyedia makanan memiliki mindset agar tak menghasilkan sampah plastik. “Bagaimana caranya agar kemasan plastik diganti dengan kemasan yang bisa didaur ulang. Bagaimana agar menggunakan penggunaan botol-botol plastik bisa ditarik kembali. Intinya harus ada di kepala kita bahwa jangan sampai dibuang ke TPA, jangan ke lingkungan,” katanya dalam Webinar #DariAksiKecil Menuju Bisnis Ramah Lingkungan, Senin (11/4).

Ia juga menyebut produsen seharusnya memiliki beragam pendekatan untuk mengurangi sampah yang mereka hasilkan. Misalnya dengan melakukan substitusi hingga pemberian insentif bagi pembeli yang mengembalikan botol-botol kemasan. Botol-botol tersebut dapat produsen gunakan lagi untuk memperpanjang pemakaiannya.

Produsen perlu memperbanyak lokasi isi ulang produk agar memudahkan konsumen. Foto: QYOS

Melandasi Bisnis Secara Ramah Lingkungan

Co Founder Burgreens Helga Angelina menyatakan, pentingnya bagi sebuah bisnis mencari titik keseimbangan antara profit dan tujuan kebaikan terhadap lingkungan. Komitmen ini harus bisnis miliki dan lakukan secara konsisten untuk bisnis plant based seperti Burgreens. Mulai dari bahan berasal dari petani lokal dan organik, low waste recipes dengan pemanfaatan bahan-bahan untuk beragam resep, distribusi dengan green lifestyle, serta packaging yang reusable.

“Kita gunakan refill dan mereka sekali bayar bisa minum dengan tumbler. Mereka bisa minum sepuasnya dan ini juga efisien ke cost kita,” ujar dia.

Meski masih memanfaatkan botol plastik untuk beberapa minuman untuk pemesanan take away, Helga memastikan para pelanggan yang mengembalikan botol plastik tersebut mendapat insentif khusus. Selain itu, ia juga memakai produk ramah lingkungan lain, seperti sedotan berbahan stainless steel dan kertas.

Mengingat bahan-bahan yang digunakan, tak jarang banyak produsen berpikir bahwa bisnis ramah lingkungan terkesan mahal. Dalam hal ini, Helga menyatakan perlunya mengubah mindset bahwa tujuan bisnis bukan sekadar uang. Akan tetapi, bagaimana caranya agar tak berdampak negatif ke lingkungan.

Bisnis ramah lingkungan, sambung dia merupakan bisnis long term yang tak sekadar mencari keuntungan sebesar-besarnya dan melupakan lingkungan. Ia menyatakan seiring meningkatnya kesadaran lingkungan bagi generasi milenial dan generasi Z ke depan maka berpotensi meramaikan pangsa produk berbasis ramah lingkungan.

“Ini bisnis long term yang melibatkan generasi milenial dan generasi Z untuk ke depan. Jadi tak perlu khawatir, size pasar kita akan semakin membesar,” imbuhnya.

Kemasan Ramah Lingkungan Semakin Populer

Saat ini, kemasan ramah lingkungan semakin populer seiring dengan maraknya lonjakan permintaan. General Manager Sales Marketing Avani Eco Mira Ayu Krisnasari menyatakan, adanya pergeseran masyarakat yang mulai sadar menggunakan kemasan ramah lingkungan. Ini muncul seiring banyaknya gerakan anti plastik dan kebijakan pelarangan penggunaan plastik sekali pakai di kota besar, seperti Jakarta.

Ia berharap, kesadaran masyarakat akan pentingnya kemasan ramah lingkungan akan meluas. Penting, lanjutnya, untuk memperkenalkan kantong atau kemasan ramah lingkungan sebagai pengganti kemasan plastik yang berujung menjadi sampah plastik dan sulit terurai di alam.

Ia percaya, seiring dengan banyaknya masyarakat yang semakin sadar dan tahu kemasan ramah lingkungan maka kebiasaan penggunaan kemasan plastik akan berhenti. “Kemasan atau kantong ramah lingkungan harus diperkenalkan agar masyarakat tahu bahaya kemasan plastik khususnya bagi lingkungan,” tuturnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top