Survei: Komitmen Ramah Lingkungan UMKM di Era Pandemi Covid-19

Reading time: 3 menit
Survei UMKM Ramah Lingkungan
Survei: Komitmen Ramah Lingkungan UMKM di Era Pandemi Covid-19

Baru-baru ini Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) menerbitkan survei Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Survei terhadap 1.073 UMKM tersebut mendapati situasi pelik pandemi Covid-19 tidak menyurutkan pengusaha UMKM dalam komitmennya terhadap praktik bisnis ramah lingkungan.

Jakarta  (Greeners) – Poppy Ismalina, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM mengatakan krisis pandemi merupakan momentum bagi semua dunia bisnis sebagai langkah awal melakukan bisnis berkelanjutan.

“Kita tahu bahwa krisis ini megajarkan kita tidak bisa bergantung pada satu hal. Kita harus bergantung pada multidimensi yang meningkatkan daya lenting kita dari segala hantaman krisis ekonomi ataupun kesehatan,” ujarnya pada Webinar UMKM, Pandemi, dan Bisnis Berkelanjutan, Senin, (7/12/2020).

Dari riset UGM, sebanyak 96 persen responden menyatakan adanya penurunan omzet. Bila diuraikan penurunan omzet peserta survei sebagai berikut:

  • 27 persen responden mengalami penurunan omzet di atas 60 persen; dan
  • 29 persen responden menyatakan omzet turun dengan rentang 40 sampai 60 persen.

Poppy melanjutkan, temuan ini tentunya menjadi catatan suram UMKM. Padahal sektor usaha ini berkontribusi besar pada Produk Domestik Bruto (PDB). Pada 2018-2019, UMKM menyumbang sebanyak 55 sampai 60 persen untuk PDB. Bahkan, lanjut Poppy, penyerapan tenaga kerjanya di atas 90 persen dari total tenaga kerja. 

Sekalipun dalam kondisi krisis, Poppy menuturkan UMKM ternyata tetap berusaha menjalankan komitmen bisnis berkelanjutan. Secara teknis, lanjutnya, UMKM berusaha menghemat konsumsi energi dalam kegiatan operasional.

Studi UMKM Terinspirasi dari UU Omnibus Law

Poppy menuturkan, survei ini termotivasi dari pengesahan Undang-Undang Omnibus Law atau Cipta Kerja (UUCK) yang membebaskan izin lingkungan untuk segala usaha.

“Awal Agustus lalu saya ikut di dalam sebuah webinar di mana ada pejabat negara yang bangga untuk meng-goal-kan UMKM bebas izin lingkungan seperti AMDAL, UKL UPL dan SPPL karena dinilai membebani dan tidak bermanfaat karena risiko usaha UMKM yang sangat rendah. Karena kita tahu di UUCK izin usaha akan dinilai berdasarkan risiko,” ujarnya.

Dia melanjutkan, secara mayoritas –di atas 50 persen—responden yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia telah menjalankan praktik tanggung jawab terhadap lingkungan. Dalam riset ini, peneliti menetapkan sembilan indikator yakni efensi energi, pengelolan limbah sampah, penghijauan, transportasi ramah lingkungan dan penggunaan mesin hemat bahan bakar.

Selain itu, survei ini juga menemukan:  

  • 88 persen UMKM mematikan lampu setelah selesai produksi.
  • 87,6 persen melakukan pengolahan sampah yang baik untuk usahanya.
  • 85,5 persen mengolah limbah usaha dengan lebih baik.
  • 77,26 persen menggunakan transportasi yang ramah lingkungan untuk usaha.

Survei yang sama juga menemukan, praktik bisnis ramah lingkungan meningkatkan reputasi UMKM. Seperti bisnis mendapatkan citra yang baik, bisnis bertahan lebih lama, dan dapat bersaing dengan lebih baik. Oleh sebab itu, responden pun mengaku sebisa mungkin menerapkan praktik hijau, kecuali aktivitas yang memerlukan biaya investasi besar.

“Keinginan mendapatkan izin lingkungan juga dimiliki oleh mayoritas UMKM,” sambung Poppy.

Survei UMKM Ramah Lingkungan

Pelaku bisnis UMKM mengaku mendapatkan reputasi baik ketika memilih pola bisnis ramah lingkungan. Foto: Shutterstock.

Baca juga: Penggunaan Merkuri Diproyeksi Melonjak, Regulator Tunjuk PETI sebagai Biang Kerok

‘Pemerintah Harus Berikan Insentif Bisnis Hijau untuk UMKM’

Seperti diketahui, pemerintah telah memberikan bantuan kepada UMKM lewat program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Besaran PEN untuk UMKM yakni Rp 114,81 triliun dari total pagu anggaran sebesar Rp 695,2 triliun.

Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, menuturkan, UMKM harus lebih menjadi prioritas dalam program pemulihan PEN. Pemerintah jangan justru menyokong pengusaha besar dan kebijakan yang tidak pro terhadap lingkungan, seperti kebijakan biodiesel yang mendapatkan subsidi sebesar Rp 2,78 triliun lewat PEN. Apalagi pelaku UMKM kini semakin menyadari praktik bisnis berkelanjutan bisa membawa usaha bertahan dalam jangka panjang.

Untuk itu, lanjut Tata, pemerintah harus merancang strategi khusus agar UMKM bisa mengembangkan praktik bisnis hijau. Tata mencontohkan pemerintah Malaysia dengan program Green Technology Financial Scheme, yakni pinjaman lunak bagi bisnis yang menerapkan praktik ramah lingkungan. Program pemerintah Malaysia tersebut sekarang memasuki tahap kedua (2.0) dengan total pendanaan RM 2 miliar.

Menurutnya, komitmen UMKM terhadap praktik bisnis hijau perlu pemerintah respons serius dengan berbagai insentif. Kata Tata, dengan menyerap tenaga kerja lebih dari 90 persen, pemerintah harus menempatkan UMKM sebagai prioritas kebijakan ekonomi dan tercermin dalam alokasi sumber daya pemerintah.

“UMKM juga bisa menjadi contoh bagi korporat besar bahwa keberlanjutan adalah masa depan yang tidak bisa ditawar, harus dimulai sekarang juga. Pandemi merupakan momentum merealisasikan ekonomi hijau. Dukungan terhadap UMKM menjadi kunci dalam melaksanakan strategi pembangunan yang menempatkan lingkungan, manusia, dan ekonomi dalam satu kesatuan,” ujar Tata. 

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Ixora Devi

Top