Rapid Test Dinilai Tak Bisa Dijadikan Diagnosis Corona

Reading time: 3 menit
Rapid Test
Pengambilan sampel darah dengan rapid test untuk mendeteksi virus korona dalam tubuh. Ilustrasi: shutterstock

Jakarta (Greeners) – Pemakaian alat tes cepat dinilai menjadi diagnosis semu dalam mengetahui keberadaan virus korona di dalam tubuh. Kurangnya kapasitas pemeriksaan laboratorium molekuler Covid-19 membuka celah berbagai produsen mengembangkan dan menjual alat pembaca antibodi tersebut.

Rapid test yang beredar di Indonesia pada Maret lalu diduga menyesatkan hasil pendeteksian. Pasien yang terindikasi positif infeksi (negatif palsu) atau sebaliknya (positif palsu) kerap terlewat sehingga berpotensi menghalangi upaya pengendalian Covid-19.

Baca juga: Dua Orangutan Terindikasi Malnutrisi Diselamatkan di Jawa Tengah

Ahmad Utomo, Pakar Biologi Molekuler dan Senior Molecular Testing Laboratory Consultant at Clinical Lab Advisor di Jakarta menjelaskan bahwa infeksi coronavirus akan mengenali sel manusia yang memiliki reseptor Angiotensin converting enzyme 2 (ACE2). Enzim tersebut menempel pada membran luar sel di organ seperti paru-paru, arteri, jantung, ginjal, dan usus.

Setelah menginfeksi, lanjutnya, virus akan berkembang biak dan keluar dari sel lalu berusaha menularkan dirinya ke sel lain. Apabila masuk ke rongga napas dia akan terbawa keluar untuk mencari manusia lain. Setelah keluar dari sel sebagian virus akan dikenali oleh sel imun dan memicu produksi antibodi. “Waktu yang diperlukan untuk munculnya antibodi berkisar antara 1-2 Minggu paska gejala,” ujarnya.

Berbagai Jenis Tes Covid-19

Berbagai Jenis Tes Covid-19. Foto: SISJ

Ia mengutip World Health Organization bahwa tes berbasis serologi seperti rapid, ELISA, CLIA, tidak boleh digunakan untuk penegakkan diagnosis akut Covid-19. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan keilmuan yang disebarkan oleh WHO pada 8 April 2020.

WHO menghargai upaya dan inovasi para pengembang alat tes dalam menanggapi kebutuhan masyarakat. Namun, sebelum dapat direkomendasikan, jenis-jenis alat tes ini harus divalidasi pada populasi dan tempat yang sesuai. Saat ini, dari bukti yang ada, WHO merekomendasikan penggunaan tes imunodiagnostik hanya untuk kepentingan penelitian. Tes ini tidak disarankan untuk digunakan di tempat kepentingan lain, termasuk untuk pengambilan keputusan klinis, sebelum terdapat bukti yang mendukung penggunaannya untuk indikasi-indikasi tertentu.”

Baca juga: Revitalisasi TPA Sarbagita Suwung Bali Tak Kunjung Selesai

Ahmad mengatakan bahwa saat ini terdapat tiga macam tes yang beredar. Tes pertama adalah tes berbasis serologi dan dapat dilakukan di tempat umum. Sedangkan yang kedua dilakukan di laboratorium dan tes ketiga berupa Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) yang menjadi standar baku pemeriksaan Covid-19.

Menurutnya tes PCR sangat sensitif karena bisa mendeteksi adanya virus korona lima hari sebelum gejala seperti pada kasus Orang Tanpa Gejala (OTG). Namun, penggunaan tes PCR maupun serologi harus mempertimbangkan kebutuhan.

“Apabila ingin memutus rantai transmisi atau mengenali orang yang psoitif Covid-19 tentu harus menggunakan tes RT-PCR. Tapi kalau kita ingin menguji keberhasilan vaksinasi atau melihat beban wilayah yang terpapar atau apakah herd immunity tercapai tentu tes serologi lebih bagus,” katanya.

Keakuratan Rapid Test Bervariasi

Ahmad mengatakan keakuratan tes cepat sangat bervariasi. Banyak merek dagang yang mengklaim hasilnya 90 hingga 100 persen akurat, tanpa menampilkan kapan tes dilakukan. Misalnya apakah pada fase awal (1-7 hari), tengah (8-14 hari), atau akhir (>14 hari) paska gejala. Namun, menurutnya mayoritas tes serologi bagus digunakan di fase akhir.

“Kalau digunakan untuk screening maupun penegakkan diagnosis akan banyak yang lolos. Covid-19 ini akan sulit dikendalikan kalau kita tidak bisa mengenali OTG yang akan terus menulari orang lain tanpa mereka sadari,” ujarnya.

Menurutnya kasus infeksi akan terus bertambah dan jika tidak terkendali angka kematian dapat terus melonjak. Ia menilai peningkatan kasus infeksi tidak bermasalah selama kasusnya adalah OTG dan bisa segera diisolasi serta tidak dibiarkan berada di tengah masyarakat. Agar pelacakan berjalan efektif, kata dia, upaya isolasi juga harus maksimal bersamaan dengan tes masif.

“Kita sudah duga angka infeksi ini sebenarnya lebih tinggi dari yang tercatat sekarang. Kalau kita sudah tahu adanya kendala lab, seharusnya bukan menggunakan tes yang inferior, tetapi melakukan pembatasan sosial dan edukasi intens dengan komunikasi sains yang tepat,” ujarnya.

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Devi Anggar Oktaviani

Top