Jakarta (Greeners) – Pemeliharaan satwa liar yang dilindungi masih ditemukan di masyarakat. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah, BKSDA Kalimantan Barat, dan Yayasan International Animal Rescue (IAR) Indonesia menyita dua orangutan kalimantan berjenis Pongo pygmaeus di Jawa Tengah.
Dua orangutan dewasa berjenis kelamin jantan tersebut diselamatkan dari dua lokasi yang berbeda. Satu individu bernama Samson berasal dari lembaga konservasi tak berizin di obyek wisata Jurang Kencono di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Sementara orangutan kedua bernama Boboy diperoleh dari kediaman seorang warga berinisial ES, di Semarang, Jawa Tengah.
Baca juga: Revitalisasi TPA Sarbagita Suwung Bali Tak Kunjung Selesai
Kepala BKSDA Jawa Tengah, Darmanto, mengatakan bahwa keberadaan primata tersebut telah dipantau dan diverifikasi sejak Oktober 2019. Kedua orangutan lalu dievakuasi ke Pusat Penyelamatan IAR Indonesia di Sei Awan Kiri, Kecamatan Muara Pawan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Sebelumnya Balai Karantina Pertanian Kelas I Semarang memastikan bahwa keduanya tidak membawa penyakit rabies dan TBC.
“Upaya penyelamatan spesies kera kharismatik endemis Indonesia yang kian terancam populasinya karena kerusakan habitat, perburuan, perdagangan, dan pemeliharaan secara ilegal akan terus dilakukan. Tentu hal ini membutuhkan kerja sama dan peran multipihak yang kuat antara pemerintah, NGO, dan masyarakat,” ujar Darmanto dalam rilis resmi, Rabu, (05/08/2020).
Sementara Temia Twin Pangesti, dokter hewan dari lembaga IAR Indonesia mengamati kondisi kedua orangutan yang diperkirakan berusia 20 tahun itu pada 26 hingga 31 Juli 2020. Ia menjelaskan bahwa keduanya telah menjalani pemeriksaan kesehatan fisik dan laboratorium. Pemeriksaan dilakukan sebagai syarat karantina yang harus dipenuhi sebelum diberangkatkan ke Ketapang.
“Setibanya di Ketapang, mereka juga akan menjalani masa karantina selama dua bulan dan mendapatkan penanganan medis dan perawatan lebih lanjut di fasilitas rehabilitasi orangutan IAR Indonesia,” ucap Temia.
Dari hasil pemeriksaan, Temia menyebut kedua orangutan terindikasi malnutirisi dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Hal tersebut ditunjukkan dengan sejumlah tanda fisik yang tidak normal di tubuh. Menurutnya, nutrisi tidak seimbang yang diberikan ke orangutan selama ini juga dapat membuat keduanya rentan terhadap berbagai penyakit.
“Kondisi keduanya memprihatinkan karena selama ini mereka terkurung di dalam kandang yang sempit dan tidak memenuhi syarat. Pantauan di lapangan juga menunjukkan bahwa aspek kesejahteraan mereka sebagai satwa tidak terpenuhi,” katanya.
Proses Rehabilitasi Sangat Panjang
Karmele L. Sanchez, Direktur Program IAR Indonesia menuturkan proses rehabilitasi orangutan sangat rumit dan panjang. Hal tersebut akan jauh lebih sulit dilakukan pada orangutan yang sejak lahir sudah dikurung di kandang dan tidak pernah belajar hidup di alam bebas selama hidupnya.
“Apabila orangutan ini memiliki penyakit atau kelainan dan cacat akibat pemeliharaan yang salah, orangutan ini tidak akan mampu lagi untuk hidup bebas di habitat aslinya. Mereka harus hidup di sanctuary (tempat perlindungan) selama sisa hidupnya,” ucapnya.
Baca juga: LIPI Lakukan Uji Klinis Suplemen Herbal pada Pasien Covid-19
Ia pun berharap masyarakat bisa turut berpartisipasi dalam menjaga kelestarian orangutan dan habitatnya. “Indonesia harus bangga sebagai satu-satunya negara yang memiliki tiga spesies orangutan,” kata dia.
Adapun Noor Adirahmanta, Kepala Balai KSDA Kalimantan Barat, mengatakan prihatin bahwa pemeliharaan satwa liar yang dilindungi masih banyak dilakukan oleh masyarakat. Menurutnya perlu dilakukan sosialisasi mengenai pengelolaan keanekaragaman hayati untuk menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pelestarian spesies endemis Indonesia tersebut.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani