Sejarah Wabah dan Respons Pemerintah dalam Menghadapinya

Reading time: 3 menit
Masyarakat Hindia Belanda
Seorang warga Hindia Belanda, kini Indonesia, sedang melakukan pemeriksaan kesehatan. Foto: muskitnas.net

Jakarta (Greeners) – Wabah penyakit, bencana alam, dan konflik sosial telah mengisi sejarah kehidupan masyarakat di nusantara. Sejak dahulu, Indonesia mengalami berbagai wabah seperti malaria, pes, flu spanyol, kolera, hingga yang terbaru, Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Peneliti Sejarah Syefri Luwis mengatakan persebaran wabah dari suatu wilayah ke wilayah lain dipengaruhi oleh transportasi. Salah satu wabah yang didorong oleh adanya mobilitas itu adalah pes. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis dan ditemukan tikus ini pertama kali terjadi pada 1905. Pes dilaporkan masuk ke Labuhan Deli yang kini berganti menjadi Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara dan menjangkiti dua orang kuli.

Baca juga: Perburuan Satwa Liar Masih Terjadi di Tengah Pandemi

Enam tahun berselang, pagebluk tersebut terjadi di Malang. Hal ini berawal ketika tahun 1910 pemerintah kolonial mengimpor beras dari Rangon, Myanmar karena beberapa kali mengalami gagal panen. “Ketika itu terjadi wabah pes di Rangon, Myanmar, China, sampai ke Arab Saudi. Tikus-tikus di sana menyebarkan pes ke masyarakat,” ucap Syefri.

Beras impor tersebut masuk ke Hindia Belanda, yang kini bernama Indonesia, melalui pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dan dikirim ke Malang. Syefri menuturkan pemerintah saat itu sempat berdalih jika terdapat wabah pes. Mereka menganggap tikus yang ada di Myanmar berbeda dengan tikus lokal sehingga tidak mungkin menyebarkan penyakit. “Masalahnya kutu-kutu tersebut bisa beradaptasi dengan tikus di Malang sehingga penyakit cepat menyebar,” ujar Syefri, dalam bincang daring bertema Pagebluk Pes dan Influenza di Hindia Belanda, Sabtu, (11 April 2020).

Warga Hindia Belanda

Seorang anak diperiksa oleh petugas kesehatan. Foto: muskitnas.net

Setelah tiba di Malang, beras-beras tersebut disimpan di dekat stasiun dan tikus mulai berpindah ke permukiman warga. Di tengah jalan, sebagian tikus mati dan kutu yang menginfeksinya mencari tikus lokal sebagai inang baru. Wabah itu pun mulai menyebar dan menyebabkan kematian.

Menurut Syefri, berdasarkan laporan kolonial, jumlah korban pes pada 1911 mencapai 2.000 orang. Jumlah tersebut berbeda dari laporan surat kabar yang menyebut pagebluk ini menewaskan lebih dari 2.000-an orang. Setiap tahun korban wabah pes semakin melonjak. Tahun 1913, tercatat 11.000 orang dan meningkat di tahun setelahnya menjadi 15.000 orang.

Pemerintah kolonial sempat menerapkan isolasi (lockdown) atas permintaan direktur dinas kesehatan pada masa itu. Namun, upaya tersebut mendapat pertentangan dari perusahaan perkebunan tebu, gula, dan tembakau. “Perusahaan protes kepada Dinas Kesehatan Masyarakat (Burgelijke Geneeskundige Dienst/BGD) karena kuli dari Malang tidak boleh bekerja,” kata Syefri. Menurutnya, faktor ini menjadi penyebab tingginya jumlah korban karena upaya isolasi gagal.

Karantina Wilayah

Penerapan karantina mandiri masyarakat Hindia Belanda dalam menghadapi wabah. Foto: muskitnas.net

Wabah Terjadi Tiap 100 Tahun

Sejarawan Indonesianis Peter Carey mengatakan, pagebluk atau wabah terjadi tiap 100 tahun. Ia mencontohkan, sebelum perang Jawa terdapat wabah kolera pada 1821 di Jawa. Wabah tersebut dibawa oleh pelaut dari Semenanjung Melayu ke Terboyo, Semarang, Jawa Tengah.

Terboyo merupakan pintu masuk ke Jawa Tengah. Dari sana, wabah mulai banyak memakan korban dan bertambah parah karena minimnya pengetahuan mengenai kesehatan umum. Menurut Peter, pagebluk tersebut mendorong Eropa membuat saluran air bersih maupun sistem sanitasi.

Jika membandingkan dengan wabah Covid-19 yang tengah menjadi pandemi global saat ini, menurut Peter, virus korona yang secara alami terdapat di binatang liar, muncul dan menyebar karena manusia telah menghancurkan habitat hutan. Ia mengatakan, luas hutan di Pulau Jawa di zaman Diponegoro mencapai 75 persen. Namun, kini hutan hanya tersisa 11 persen dari luas pulau Jawa.

“Anggapan bahwa kita punya wewenang atas alam adalah pikiran yang sangat bahaya. Manusia bertahan di bumi ini kalau kita menghargai alam,” ujarnya.

Respons Pemerintah Menghadapi Wabah

Cara pemerintah sekarang merespons wabah Covid-19 dinilai masih sama dengan sikap pemerintah pada masa lalu. Syefri mengatakan pemerintah Hindia Belanda meremehkan bahwa wabah pes dan influenza tidak mungkin masuk ke wilayah nusantara. Sikap tersebut, kata dia, juga serupa dengan yang terjadi saat menghadapi pandemi saat ini. “Beberapa bulan terakhir pemerintah mengatakan Covid-19 tidak bakal masuk ke Indonesia,” ucapnya.

Anggota Koalisi Masyarakat dan aktivis Migrant Care, Anis Hidayah, menuturkan penanganan Covid-19 di Indonesia tidak dilakukan secara komprehensif. Ia mengkritik sikap pemerintah yang lamban menangani wabah. “Dari pengalaman menangani penderita yang sangat kritis, rumah sakit full dan menolak penanganan,” ujar Anis kepada Greeners, Selasa, (14/04/2020).

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Devi Anggar Oktaviani

Top